Oleh: Ferry riyandika
“……cu(n)duk ka Sagara Dalem, ngalalar ka Kagenengan, sumengka ka Gunung Kawi, disorang kiduleunana. Sadatang ka Pamijahan…..” Terjemahan: “.......tiba ke Sagara Dalem, berjalan lewat Kagenengan, mendaki Gunung Kawi, dijel...ajahi arah selatannya. Setiba ke Pamijahan……” (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).Nama Sagara Dalem dalam urain kisah perjalanan Bujangga Manik ini terletak diantara Gunung Mahameru (Semeru) dan Kagenengan yang berada disebelah barat Gunung Semeru. Nama Dukuh Sagara Dalem merupakan nama lama untuk sebuah Dukuh Segaran yang terletak di Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303). Di dukuh ini pernah terdapat temuan-temuan arkeologi yang berupa sejumlah batu bata kuno di Punden “Mbah Cengkaruk”, selain itu juga di tetangga Dukuh Segaran kurang lebih 400 m keselatan yaitu di Dukuh Watudakon terdapat sekumpulan batu candi yang mirip seperti permainan dakon, yang kemungkinan pada masa lampau digunakan sebagai sarana ritual keagamaan tertentu (Sidomulyo, 2007: 103), kemungkinan juga sebagai alt untuk menghitung hari (pertanggalan).
Setelah itu perjalanannya menuju Kagenengan. Nama Kagenengan pada masa sekarang merupakan nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten Malang yaitu Genengan yang terletak di sebelah barat Desa Kendalpayak Kecamatan Pakisaji atau Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir. Kagenengan pada masa lampau merupakan tempat dimana terdapat suatu kelompok komunitas keagamaan (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 513). Dalam uraian Kitab Nagarakrtagama disebutkan bahwa Kagenengan merupakan sebuah pendharmaan dari Raja Rajasa (Ken Angrok). Dari Kitab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. “…..Krama subhakala sah nira ri singhasari mangidul mare kagenengan, humaturaken kabhaktini bhatara dharmma sawatekwatek nira tumut…” (pada hari baik Baginda berangkat dari Singhasari ke selatan menuju Kagenengan, melakukan sembah bakti sujud pada Bhatara Dharma (leluhur) bersama seluruh pengiringnya…”). Selanjutnya disebutkan bahwa putra sri Girindra (Ken Angrok/ Rajasa) pada tahun 1149 Saka (1227 Masehi) meninggal dan diabadikan di Kagenengan berwujud Siwa Buddha (“….ring saka syabdhi rudra krama kalahanira mantukang swargga loka, kyating rat sang dhidharmma dwaya ring kagenengan sewa boddhengusana). Selain itu dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Kagenengan merupakan tempat pendharmaan yang harus dijaga dan dicatat agar tidak timbul perselisihan pada keturunan Hayam Wuruk. “….Keh nikanang sudharma haji kaprakasita makadi ring Kagenengan ….”. (“…..jumlah candi-candi makam raja tersebut yang pertama di Kagenengan…..”) (Riana, 2009: 185, 207, 356). Selain itu pada Prasasti Mula-Malurung lempeng IIb disebutkan tentang pendharmaan kakek Wisnuwardhana yang terletak di Kagenengan (…makaswa rupan wisnwarccha nankane sang hyan dharmme kagnenan….”) (Kartakusuma, 2002: 5). Di Desa Genengan, Kecamatan Pakisaji pernah ditemukan tinggalan arkeologi berupa lingga dari batu andesit. Sedangkan di Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo. Kecamatan Wagir di tanah sebelah selatan terdapat sebidang tanah tinggi yang diapit oleh dua sungai/ jurang (Sokan) terdapat pecahan batu bata berukuran besar, fragmen batu, dan lingga kecil. Selain itu di Sokan juga ditemukan arca, guci dan sebuah prasasti batu, namun keberadaanya sekarang tidak diketahui lagi. Menurut informasi warga setempat meyakini bahwa makam Ken Angrok berada di puncak Gunung Katu yang berada tidak jauh di sebelah barat dusun ini (Sidomulyo, 2007: 79-80).
Setelah dari Kagenengan Bujangga Manik menuju ke Gunung Kawi. Jadi arah perjalanannya ke barat. Berdasarkan keterangan dalam Kitab Tantu Pagelaran, Agastya mendapatkan pertapaan di Gunung Kawi. Semenjak itu Gunung Kawi menjadi miliknya, yakni sebagai tanda penugasan bagi Batara Guru (Ciwa). Berikut kutipan dari teks Tantu Panggelaran: ”Ucapen ta laksana bhatara Jagatwicesa, anggasta yinuganira hinasti, siniramning tatwamrtha ciwamba, yinuganira matmahana dewata purusangkara. Inararan bhagawan Agasti, inanugrahan kawikun de bhatara, kinwan matyapaha ring gunung kawi. Tinher makadrwya kang gunung kawi pinakapacihna pawkas bhatara Guru” (Pigeaud (1924: 92). Artinya: ”Untuk bicara tentang cara-cara Batara Jagadwicesa; dia mengarahkan yoganya pada ibu jarinya, dan menjadikannya abu, yang kemudian disiramnya dengan air suci Tattwamrta dan melakukan yoga, sehingga menjadi dewata bertubuh manusia. Dia mendapatkan nama Agasti yang terhormat; sebagai tanda kehormatan dia menerima kedudukan wiku dari Bhatara, dan menerima perintah melakukan pertapaan di Gunung Kawi. Sejak itu gunung Kawi menjadi miliknya, sebagai tanda penugasan Bhatara Guru” (Poerbatjaraka, 1992: 40). Adapun nama “Kawi” berasal dari kata “Kavya (Kawi)”, yang berarti syair yang dilagukan. Ada pula yang menghubungkan istilah ini dengan “awi” yang berarti golongan orang-orang di antara “watek i jro” (manilala drwya haji) (Zoedmulder, 1995: 475 ; 86). Oleh karenanya, Gunung Kawi adalah sebuah gunung yang pada masa lampau banyak dikenal oleh para pertapa, rsi atau bujangga sebagai tempat pertapaan dan tempat pembuatan syair (Kawi).
Dari toponimi daerah yang dilaluinya, Bujangga Manik melakukan perjalanan menjurus langsung kebarat. Jadi yang ditempuh bukan Gunung Kawi melainkan adalah Gunung Butak yang terletak di selatan Gunung Kawi. Selanjutnya Bujangga Manik menjelajahi tempat yang terletak di arah selatan yaitu di Pamijahan. Nama Pamijahan keberadaanya tidak terlancak. Apabila melihat rute yang dilalui Bujangga Manik ke selatan, maka boleh jadi menuju Candi Sirahkencong yang terletak di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar. Di situs ini memiliki tinggalan dan temuan berupa Prasasti Ukir Negara bertarikh Saka 1120 (1198 Masehi) dan 1304 Saka (1382 Masehi) (Issatriadi 1975: 1), Jaladwara yang memuat relief cerita Samodramanthana atau Amerthamanthana yang sekarang disimpan di Museum Pusat Jakarta (Soekmono, 1985: 43-48), kronogram bertarikh Saka 1389 (Knebel, 1908: 174), umpak, dan arca dwarapala. (Sukamto, tanpa tahun: 8). Di Situs ini terdapat bangunan altar candi. Pada altar candi ini terdapat relief cerita Bubuksah- Ganggangaking, yang terletak di bangunan I, bangunan II terdapat relief cerita Samodramanthana atau Amertamanthana, dan pada bangunan III terdapat relief cerita Bima mencari Tirthamanthana, yang merujuk pada Kitab Nawaruci (Riyandika, 2010: 78-84). Selain itu juga ditemukan lampu perunggu berujung lingga (Hariyono, 2001: 136),
Di barat Situs Candi Sirahkencong terdapat sebuah Dukuh bernama Pijiombo. Jarak antara perkebunan Pijiombo dan Sirahkencong ± 4 km. Pada Dukuh Pijiombo terdapat tinggalan arkeologi masa Hindhu- Buddha, yang berupa arca singa (?). Warga setempat menyebutnya dengan Anoman berukuran 0,65 m, arca Emban (?) berukuran tinggi 0,78 m, arca Trijata dalam posisi duduk (?) dengan tinggi 0,56 m, bak air yang pada dindingnya berhiaskan bunga padma dengan panjang 0,57 m, kepala gajah dengan tinggi 0,60 dan diameter 0,40 m, serta tiga buah fragmen miniatur candi dengan tinggi 0,49 m, panjang dan lebar 0,25 m. Selain itu terdapat tiga buah arca dwarapala (Knebel, 1908: 166-167 ; Arnawa, 1991: 41-44). Apakah nama Pamijahan ini merupakan nama lain dari Pijiombo. Apabila pendapat ini benar maka Pamijihan nama arkhais dari Pijiombo (Pa-biji/ miji-an menjadi Pamijahan atau Pamijen) Namun hal ini perlu dilakukan penelitian ulang agar keberadaan rute perjalanan Bujangga Manik di kawasan ini memperoleh kebenaran.
Selanjutnya Bujangga Manik melakukan perjalanan menuju Gunung Kampud. Dalam uraian kisah perjalanannya diuraikan sebagai berikut. “…..leu(m)pang aing ka baratkeun, ngalalar ka Gunung Anyar, cu(n)duk aing ka Daliring. Sadatang ka Gunung Ka(m)pud……” (“……aku berjalan ke arah barat, melewati Gunung Anyar, tibalah aku di Daliring. Setibanya ke Gunung Kampud…”) (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).
Setelah dari Pamijahan (Pijiombo) perjalanan Bujangga Manik mengarah kebarat yaitu di Gunung Anyar dan sampailah ke Daliring. Nama Gunung ini juga termuat dalam Kitab Pararaton yang mengatakan bahwa pada tahun 1376 Masehi, “…hana gunung anar…” (ada atau muncul sebuah gunung baru) (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 514).
Nama Gunung Anyar dan Daliring sebelum menuju Gunung Kampud (Kelud) belum terlacak keberadaanya. Boleh jadi Daliring sekarang bernama Wringinbranjang karena memiliki kemiripan nama. Situs ini terletak di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Candi Wringinbranjang memiliki bentuk seperti rumah dan kesemuanya terbuat dari batu andesit dari atas sampai bagian kaki candi. Arah hadap candi Wringin Branjang menghadap ke utara. Candi Wringin Branjang memiliki keunikan tersendiri dari candi-candi lainnya, selain bentuknya menyerupai rumah, bangunan ini pun terletak di Bukit Gedang. Sedangkan gapura di Situs Wringinbranjang terletak 200 meter ke utara dari Candi Wringinbranjang. Gapura menghadap ke selatan dan berorientasi ke utara, sisi timur dan baratnya diperlengkapi dengan pagar atau sayap terbuat dari batu yang sama yaitu batu andesit. Menurut Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur (1995: 4-9), di reruntuhan sisa struktur gapura juga terdapat batu ambang (kemungkinan atas) dalam keadaan patah yang dilengkapi dengan ceruk polos daun pintu. Di sebelah utara gapura terdapat struktur susunan batu andesit berjenjang , setinggi 12 jenjang. Dari gapura ke utara terdapat sisa susunan batu andesit I, setinggi dua lapis. Pada lapis batu pertama dan kedua dihiasi oleh pelipit, sebuah lapik arca berukuran berhiaskan ornamen naga pada sisi kanan-kirinya yang menyatu dengan dinding utara (belakang) bangunan. Pada bagian tengah permukaan lapik diperlengkapi ceruk yang dikelilingi lingkaran yang berdiameter 55 cm. Bagian depan lapik terdapat undakkan setinggi 20 cm dan lebar 19 cm. Diatas dinding terdapat batu-batu yang ditumpuk. Di sebelah barat bangunan ini kira-kira 22 meter terdapat tumpukan batu yang memanjang ke utara-selatan, diantara batu tersebut terdapat sebiji batu ambang dengan ceruk poros daun pintu dalam keadaan terpotong. Selain itu terdapat empat buah batu berbentuk limas terpancung (umpak) di sekeliling sisa struktur gapura, sehingga dapat diperkirakan merupakan penyangga tiang yang berbahan yang mudah aus. Dilihat dari bangunannya Situs Wringinbranjang merupakan situs masa Majapahit yang setidaknya memiliki tiga teras. Teras pertama adalah Candi Wringinbranjang sendiri, teras kedua berupa gapura, struktur susunan batu andesit berjenjang dan ditemukan empat buah umpak, kemungkinan gapura Situs Wringin berbentuk gapura paduraksa yang kemungkinan pagarnya berbentuk sayap, sedangkan teras ketiga berupa sisa susunan batu andesit I dan sisa susunan batu andesit II yang berbentuk persegi, dimana pada susunan batu andesit II berbentuk persegi ditemukan lapik arca yang berhiaskan ornamen naga dan lapisan pada dua lapisan paling atas dihiasi pelipit. Dilihat dari fungsinya Situs Wringinbranjang merupakan tempat krsyan pada masa Kerajaan Majapahit. Apakah Gunung Hanyar nama lain untuk Gunung Gedang pada masa sekarang dan puncaknya bernama Daliring (Wringinbranjang)?. Hal ini perlu diadakan penelitian ulang guna mengetahui secara tepat akan keletakan daerah yang di lalui Buyangga Manik di wilayah ini.
Setelah dari Daliring (Wringinbranjang), Bujangga Manik melakukan perjalanan lagi hingga ke Gunung Kampud. Jadi arah rute perjalanan Bujangga Manik dari Pamijahan ke Gunung Anyar adalah menjurus kebarat dan membelok ke utara sehingga sampai ke Daliring. Gunung Kampud merupakan nama arkhais dari Gunung Kelud. Pendapat ini didukung dari ulasan isi Kitab Tantu Panggelaran yang dimana Gunung Kelud sering disebutkan dengan nama Gunung Kampud. Selain itu disebutkan juga dalam Kitab Nagarakrtagama dan Pararaton. Nama Kampud (Kelod) juga masih dikenal di sebagian masyarakat Bali, terutama pada acara-acara keagamaan di lingkungan pura di wilayah Bali. Seperti halnya nama Desa Tambahan Kelod di Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli (Gudel, M, 2006: 4-7) yang mempunyai pengertian “tambahan bagian selatan” (Damais, 1995: 138). Sebutan ini nampaknya berasal dari penguasa kerajaan yang terletak di bagian utara Gunung Kampud/ Kelud, yakni Kerajaan Kadiri, Singosari dan Kerajaan Majapahit.
Setelah dari Gunung Kampud, Bujangga Manik melakukan perjalanannya menuju Rabut Palah, yaitu ke arah selatan gunung ini. Dalam kisah perjalanannya dapat diuraikan sebagai berikut. “……datang ka Rabut Pasajen, Eta hulu Rabut Palah, kabuyutan Majapahit, nu dise(m)bah ku na Jawa. Maca (a)ing Darmaweya, pahi deung Pa(n)dawa Jaya. Ti inya lunasing jobrah, aing bisa carek Jawa, bisa / aing ngaro basa. /19/. Di inya aing teu heubeui, satahun deung sataraban. Ha(n)teu betah kage(n)teran, datang nu puja ngancana, nu nye(m)bah ha(n)teu pegatnanu ngideran ti nagara……” Terjemahan: “……datang ke Rabut Pasajen. Itulah dataran tinggi Rabut Palah, tempat suci bagi Majapahit, yang disakralkan orang Jawa. Aku membaca Darmaweya, Bersama dengan Pandawa Jaya. Setelah itu keingintahuanku tercapai, aku bisa berbahasa Jawa, aku mampu berdwibahasa. Aku disitu tak lama, selama setahun lebih. Tidak kerasan dalam kegaduhan, kedatangan para pemuja keduniawian, para penziarah tak ada hentinya para pengunjung dari perkotaan.…..” (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).
Setibanya dari Gunung Kampud (Kelud), Bujangga Manik meneruskan perjalanannya ke Rabut Pasajen. Nama Rabut Pasajen terdiri dari dua kata yaitu Rabut dan Pasajen. Menurut Poerbatjaraka (1992: 60), ”Rabut” berasal darai kata ”buyut” yang diperas dan disingkat menjadi ”but” dan ditambah kata awalan ”ra” (sebagai penghormatan), sehingga ”rabut” memiliki pengertian tempat suci yang dihormati. Sedangkan ”Pasajen” (Pa-saji-an) berasal dari kata ”saji” yang berarti menaruh atau meletakkan suatu barang untuk dihidangkan. Jadi Rabut Pasajen merupakan suatu tempat suci yang digunakan untuk sarana upacara persembahan suatu hidangan kepada roh leluhur atau nenek moyang. Hal ini diperkuat oleh keterangan Noordyun & A. Teeuw (2009: 514), bahwa Rabut Pasajen juga merupakan hulu (kepala) kuil Palah yang letaknya di tempat yang lebih tinggi di pegunungan Kampud (Kelud). Dimanakah letak daerah tersebut, apabila sebelumnya dari Gunung Kampud (Kelud) dan setelahnya langsung menuju Rabut Palah. Melihat tinggalan arkeologinya kemungkinan Candi Gambar Wetan merupakan nama lama dari Rabut Pasajen. Pada Candi Gambar Wetan terbagi menjadi tiga bagian berjajar memanjang keutara (belakang). Bangunan induk terletak di bagian belakang sehingga menimbulkan kesan berundak. Menurut Hoepemants (1913) dalam Kristiana (1996: 48) menjelaskan bahwa Candi Gambar Wetan ini terdiri dari enam bangunan. Bangunan candi pertama dan kedua terbuat dari batu andesit dan bangunan ketiga sampai keenam terbuat dari batu bata, namun bangunan ketiga hingga enam keberadaannya sekarang tidak diketahui. Selain itu di Candi Gambar Wetan terdapat kronogram di bawah kaki (lapik arca) yang bertarikh Saka 1360 atau 1438 Masehi dan pada halaman kedua terdapat pahatan angka tahun yaitu 1298 Saka (1376 Masehi). Jadi dapat disimpulkan bahwa perjalanan Bujangga Manik dari Gunung Kampud (Kelud) ke arah barat daya langsung menuju Candi Gambar Wetan (Rabut Pasajen).
Setelah dari Rabut Pasajen (Candi Gambar Wetan), melanjutkan perjalanannya menuju ke Rabut Palah. Nama Palah merupakan nama tempat suci yang termuat dalam prasasti di dalam Komplek Candi Penataran. Dalam prasasti yang berangka tahun 1119 Saka atau 1197 Masehi, dikeluarkan oleh Raja Crengga dari kerajaan Kadiri, menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah. Menurut para sarjana yang dimaksud Palah adalah Panataran (Wisnoewhardono, 1988:9). Sedangkan dalam Nagarakertagama disebutkan ”......yan tan mangka mareng phalah mareki jong hyang acala pati bhakti sadara......” yang memiliki arti ”......bila tidak demikian Baginda pergi ke Palah memuja Hyang Acala Pati dengan bersujud......” (Riana, 2009: 116). Sepertinya kedudukan Candi Panataran digunakan sebagai kuil Nagara (state temple) yang diresmikan pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 (Wisnoewardhono, 1988: 8). Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan dalam Nagarakartagama bahwa pada ”...Tahun saka tiga badan dan bulan (1283) Wesaka-April-Mei Baginda raja memuja (nyekar) ke Palah dengan pengiringnya (”....ndan ring saka tri tanu rawi ring wesaka, sri na-/- tha muja mara ri palah sabrtya....”) (Riana, 2009: 302). Bagian ini menceritakan tentang perjalanan raja Hayam Wuruk dan memuja Hyang Acalapati. Sebutan Hyang Acalapati adalah memuja kepada raja Gunung (Girindra). Pemilihan lokasi dengan latar belakang gunung bukanlah secara kebetulan. Pendirian bangunan suci Palah dimaksudkan sebagai Candi Gunung, yakni candi yang diperuntukkan keperluan memuja gunung. Tujuan utamanya tidak lain adalah untuk dapat “menetralisasi” atau menghindarkan segala mara bahaya yang disebabkan oleh gunung. Pemujaan kepada Hyang Acalapati adalah juga pemujaan kepada Raja Gunung (Girindra), jadi bersifat Siwais (Wisnoewardhono, 1988: 32). Pernyataan pada Nagarakertagama ini semakin memperkuat tentang keberadaan Candi Panataran, yang pada waktu itu disebut dengan nama “Palah”.
Setelah mendiami dan belajar di Rabut Palah (Candi Penataran) selama satu tahun lebih Bujangga Manik melakukan perjalanan ke barat daya menuju Waliring, Polaman dan Balitar. “……Leu(m)pang aing marat ngidul, nepi aing ka Waliring, ngalalaring ka Polaman, datang aing ka Balitar……” (“……Aku berjalan ke baratdaya, sampailah ke Waliring, aku berjalan lewat Polaman, tibalah ke Blitar……”) (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 304).
Nama Waliring dan Polaman tidak terlacak keberadaannya sekarang. Apabila dilihat dari perjalanannya yang mengarah ke barat daya maka terdapat nama suatu daerah yang mirip dengan nama Waliring, kemungkinan berubah menjadi Beringin (Bringin) yang merupakan nama Desa Sumberingin yang terletak di Kecamatan Sanan Kulon atau menjadi Desa Bangsri, Kecamatan Nglegok, menurut laporan daftar penemuan benda-benda purbakala di Jawa timur pada tahun 1977 disebutkan telah ditemukan tiga buah arca pancuran dan fragmen sebuah bangunan candi.
Selanjutnya menuju ke Polaman. Nama Polaman berarti Kolam ikan (ulam “ikan” jawa.), namun kemunculan toponimi ini sama dengan nama di daerah dekat Kendal. Dalam Nagarakrtagama disebutkan adanya Polaman di daerah Daha (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 515). Selain itu pada uraian Pararaton disebutkan bahwa sebelum meninggal raja Katong (Jayakatwang) telah membuat Kidung Wukir Polaman di Djunggaluh (Padmapuspita, 1966: 79). Di Desa Bedali dan Desa Kalirejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, dimana juga terdapat nama Dukuh Polaman. Untuk Polaman perjalanan Bujangga Manik ini keberadaannya sebelum menuju ke Balitar, harus ditekankan dan dicari sebelah utara Balitar, bukan ke tempat lain. Di Desa Jeding, Kecamatan Sanan Kulon terdapat situs kolam yang terbuat dari batu bata kuno, yang sekarang dipergunakan sebagai tempat kolam pemandian dan kolam pemancingan warga setempat.
Selain Desa Jeding, di Kelurahan Tanggung Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar pada tahun 2011 baru ditemukan lingga semu, batu candi, beberapa lumpang, dan batu bata kuno. situs ini terletak di antara Sungai Lahar dan Sungai Cari. Di Kelurahan Bendo, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar terdapat pemandian umum yang sekarang disebut “Water Park Sumber Udel”. Dahulu tempat ini terdapat sumber air yang menurut warga setempat sebanyak 3 buah, yang dua buah menjadi “Water Park” yang terakhir menjadi pemandian (belik) warga yang terletak di selatan “Water Park Sumber Udel”, di dekat Kali Lahar yang merupakan kali hasil muntahan lahar dingin dari Gunung Kelud. Di tempat tersebut terdapat struktur bangunan kuno yang terbuat dari batu bata dan sebuah arca pancuran, sayang sekali keberadaan temuan benda arkeologi tersebut sekarang tidak diketahui lagi. Selain itu untuk menuju kolam memandian tersebut harus menuruni anak tangga dan disekelilingnya ditumbuhi pohon beringan yang lebat. Kemungkinan dahulu merupakan tempat pathirtaan. Di Kelurahan Bendo terdapat nama Dukuh Baderan (Bader-an) yang memiliki pengertian nama jenis ikan sungai yang biasanya di budidayakan di kolam (Nila/ Mujair) dan Kampung Sangut (Sungut) berarti kumis ikan. Dukuh ini terletak di kelurahan yang sama yaitu di Kelurahan Bendo. Selain itu juga terdapat lumpang batu besar dan altar persajian yang terletak di pemakaman umum Bendo. Pendapat ini juga diperkuat akan ikon berupa lambang Ikan Koi menuju Kelurahan ini. Maka oleh karena itu Polaman harus di cari disekitar daerah ini.
Setelah dari Polaman, Bujangga Manik mengunjungi daerah Balitar. Nama Balitar sekarang menjadi Kelurahan Blitar yang terletak di Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar. Dalam naskah Nagarakertagama, wilayah Blitar disebut-sebut sebagai tempat yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat, terbukti dengan beberapa kali kunjungan Hayam Wuruk ke Blitar pada tahun 1357, 1361, dan 1363 M untuk menziarahi berbagai bangunan suci, tempat bersejarah, dan tempat yang berpanorama permai di Blitar (Muljana, 2006: 348-349; 380-381 ; Riani, 2009: 116-117; 303-305; 341-343). Di Kelurahan Blitar juga terdapat kompleks makam seorang tokoh yang sebagian besar masyarakat Blitar meyakini salah satunya sebagai tempat makam Adipati Aryo Blitar. Pada halaman samping barat cungkup makam terdapat reruntuhan struktur bangunan kuno yang ditata ulang kembali. Disebelah timur laut makam terdapat urung-urung (saluran air) yang terbuat dari batu bata yang menghubungkan dari daerah utara dan selatan, namun saying sekali urung-urung tersebut kini sudah tertimbun dan di atasnya menjadi rumah.
Pada radius 500 meter ke selatan di komplek Makam Tilara dahulu telah ditemukan dinding batu batu kuno yang berfungsi sebagai dinding kolam (patirthan) yang kini menjadi sawah. Menurut Hoepermans pada tahun 1913 di Desa Blitar masih terdapat tinggalan berupa kepala kala dan prasasti yang bertarikh saka 1246 (1324 Masehi) yang kini disimpan di Museum Nasional(Danardhana, 1977: 18-19). Kemungkinan besar dahulu tempat ini merupakan sebuah bangunan candi masa Majapahit dan pada masa selanjutnya yaitu pada masa berkuasanya kerajaan Islam dijadikan tempat makam Adipati Aryo Blitar. Dalam Kitab Nagarakrtagama juga disebutkan adanya tanah sima bagi Desa Kapungkuran. Perdikan tersebut kini tetap digunakan hingga sekarang sebagai nama Dukuh di Kelurahan Blitar yang dimana terletak makam Aryo Blitar berada. Sebagai pendukung keletakan Kelurahan Blitar pada masa lampau pada tahun 1848 kediaman Bupati Blitar yaitu R.M Aryo Ronggo Hadinegoro di Desa Blitar dan masjid yang di bangun oleh penghulu I Blitar yaitu Kyai Imam Besari pada tahun 1820 Masehi di terjang muntahan letusan Gunung Kelud yang mengalir ke Sungai Lahar di dekat kediamannya. Selanjutnya kediamannya dipindahkan ke Kepanjenlor yang kini menjadi Kantor Bupati Blitar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar