RAGAM HIAS FAUNA PADA KOMPLEK MAKAM SENDANG DUWUR.
Oleh: Ferry Riyandika
A.SAYAP BURUNG
Pintu Gerbang (Paduraksa) bersayap di Komplek Makam Sendang Duwur dihiasi dengan motif-motif yang lazim ditemukan dalam gunung, seperti: bukit, batu cadas, kolam, gua, motif awan dan berbagai jenis flora dan fauna. Ragam hias di Pintu Gerbang B yang terdapat hiasan sayap menggambarkan sebuah gapura beratap yang pintunya tertutup, dengan sayap bulu dikanan kirinya bangunan ini nampak ditengah bukit karang dan pepohonan yang mirip randu alas (randu hutan). Ragam hias berupa “curing” menambah kesan lingkungan batu kapur (cadas) yang banyak dipakai untuk bangunan cungkup dan patung. Disudut kiri atas terdapat bingkai kosong, mungkin untuk memahat angka tahun atau inskripsi lain yang belum jelas.
Helai bulu yang tersusun simentris membentuk sayap yang ujung kedua sayapnya runcing melengkung keatas, berbeda dengan hiasan sayap dipintu gerbangnya, yang tersusun tiga lapis. Pangkal hiasan sayap tersebut tertutup dengan ragam hiasan lengkung kedalam. Atap gapura cukup menarik karena berupa gugusan puncak bukit yang tersusun dengan kemuncak dengan tepi yang membentuk siluet teratai dan dihiasi dengan aneka ragam motif.
Diatas anbang pintu terdapat hiasan kala merga, yang menyusur kebawah hingga dipertengahan pilar-pilar. Ragam ini merupakan ragam hias yang sudah dikenal pada masa Hindhu-Buddha. Sayap yang mengapit kanan-kiri Pintu Gerbang (paduraksa) B ini direntang, dihias dengan berbagai motif antara lain gugusan bukit, gua bersayap, bangunan bertiang tunggal, dan berbagai jenis flora. Seperti dikemukakanj B. Kempers, pintu gerbang bersayap melambangkan gunung, yaitu Gunung Meru, tempat bersemayamnya para dewa. Dalam kesenian Islam peralihan, desain tersebut tetap populer (Mustopo, 2001: 201-203). Ragam hias gunung bersayap juga terdapat pada Pintu Gerbang E dan dahulu terdapat sayap di pintu gerbang tersebut namun kini tidak ada kemungkinan hancur atau roboh.
Selain itu terdapat panil bersayap dibawah cungkup Sunan Sendang. Panil berbingkai belah ketupat dihiasi dengan gambar bukit bersayap dengan paranoma daerah bukit berkarang yang banyak dijumpai di daerah Gugusan Kendeng Utara.
Ragam hias sayap biasanya dikaitkan dengan burung. Tema tentang burung banyak terdapat pada syair Sufi. Cerita Nabi Sulaiman yang dapat memahami ucapan burung telah dibahas oleh Farid al-Din Attar di dalam Mantiq al Tayr. Secara esoteris, motif burung dapat dikaitkan dengan ucapan burung, yaitu pancaran atau bisikan halus dari Allah kepada Nabi Muhammad yang merupakan wahyu pedoman hidup manusia aagar memperoleh keselamatan. Didalam suluk Malang Sumirang pupuh IV baris 23-26, burung dengan segala bagiannya merupakan lambang syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Jadi dari beberapa keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa motif sayap yang terdapat di Komplek Makam Sendang Duwur mengandung makna ajaran pelepasan manusia dari sifat dan nafsu dunia untuk mencapai kesempurnaan.
B. SINGA
Dikomplek Makam Sendang Duwur terlihat hasil-hasil perpaduan yang menarik antar tradisi seni Majapahit dan tradisi seni Islam pada umumnya tidak menyukai bentuk-bentuk yang bersifat zoomorfik naturalis. Menurut F.D.K.Bosch, singa sebagi lambang dan hias dalam kesenian pada umumnya masih belum cukup diteliti secara mendalam. Namun menurut faktanya singa banyak digunakan dalam seni patung dan ragam hias artefak maupun bangunan dari periode Hindhu-Budhha dan Islam.
Dari masa awal perkembangan Islam, patung singa dan kayu yang menghiasi tangga cungkup Sunan Sendang merupakan contoh cirri-ciri peralihan dalam seni patung Islam saat itu. Patung singa yang berada di makam Sunan Drajad dan patung singa di cungkup makam Sunan Sendang melihatkan kesamaan.Patung Singa di yang dahulu terdapat diatas pangkal pipi tangga pintu cungkup makam Sunan Sendang terdapat dua ekor yang keduanya dalam pose duduk dan bentuk mulutnya mirip dengan mulut singa yang menganga yang bersifat naturalistic. Sekarang patung singa tersebut berada di Museum Arkeologi yang berada di Jakarta.
Ornamen singa juga terdapat di pilar Pintu Gerbang E, sebelah kiri menghadap keselatan yang merupakan ornament Singa bersayap. Singa bersayap ini dalam relief dalam posisi duduk, dan pada kepalanya tampak hiasan semacam tanduk, yang tidak lain adalah gambar telinganya. Mulutnya terbuka, terlihat diujungnya melengkung terangkat keatas. Kadang-kadang rahang atasnya yang melengkung seperti belalai, sehingga memberi kesan bahwa pahatan itu menggambarkan seekor gajah.
Singa sebagai ornament dikenal secara luas dan bersifat universal. Pada umumnya melambangkan matahari, keperkasaan, pelindung terhadap pengaruh jahat dan pembe-basan. Dalam kepercayaan Ibrani, singa merupakan kendaraan judas dan menunjukkan mata angina selatan. Dalam peradaban kuno, lambang kemaharajaan, amtahari dan cahaya dan dalam kesenian Islam Singa dikenal sebagai pelindung terhadap bahaya dan roh jahat. Penempatan patung dan ragam hias zoomorfik dimakam seorang wali terutama di Jawa cukup menarik karena tidak dijumpai pada makam-makam Islam di dunia Islam umumnya. Menghiasi makam dengan patung serta ragam hias makluk bernyawa (fauna) masih dapat diterima muslim saat itu, dan jelas merupakan sauatu survival dan tardisi menghias bangunan pendharmaan raja-raja par-Islam (Mustopo, 2001: 200-201).
C BURUNG MERAK
Pada masa peralihan terutama di Komplek Makam Sendang Duwur yang berada di Pintu Gerbang E di halaman I terdapat hiasan Burung Merak. Burung Merak merupakan fauna asli dan hidup dikawasan hutan Indonesia. Dalam kesenian, jenis burung ini banyak digunakan sebagai ragam hias pada artefak serta bangunan, contoh pada masa Hindhu-Budhha antara lain di Candi Panataran (Palah), Candi Sumberjati (Simping) yang merupakan tempat pendharmaan raja Majapahit Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) yang memerintah dari tahun 1293-1309 M, dan di bagian atas relief di Penanggungan LXVII. Dalam kesenian Hindhu-Buddha Burung Merak dikenal sebagai binatang kendaraan dewa perang Skanda atau Kartikeya, putera Siwa dan Parwati.
Dalam kesenian Cina Burung Merak tersebut juga popular sebagai salah satu ragam hias, dan barang kali dalam gayanya yang khas ikut mempengaruhi seni rupa di Indonesia pada periode Islam Peralihan. Hal ini dapat dilihat pada hiasan hasil seni batik dari Pekalongan dan Lasem. Biasanya burung merak digambarkan dengan ekor dan sayap yang mengembang. Burung lain yang banyak dijumpai dalam ornamentik ialah Burung Phoenix, ragam hias ini mungkin berasal dari pengaruh kesenian Cina yang berkembang di Indonesia di Daerah pusat perdagangan pantai Utara Jawa Timur. Burung Phoenix dapat dikenal dari ekornya yang panjang yang digambarkan berombak, dan kepalanya berjambul, bulu-bulu ekornya sering juga dihiasi dengan “mata”, seperti halnya dengan bulu Merak, hingga kedua burung tersebut tidak selalu dapat dibedakan (Mustopo, 2001: 205-206).
Relief Merak di Komplek Makam Sendang Duwur terutama di bagian tubuh Pintu Gerbang E sepintas lalu menyerupai Burung Phoenix, jenis burung yang juga dikenal secara luas, di kalangan Sufi disebut “Simurgh”, dalam mitologinya burung ini bertempat tinggal di Gunung Qaf. Burung ini melambangkan angina yang mengandung kekuatan dahsyat, dan secara spiritual Allah membuka jasad material dunia ini. Burung tersebut adalah lambing ruh wali atau wali sendiri. Menurut Arnstrong, Burung Simurgh merupakan burung legendaris yang bernama tanpa bentuk, Simurgh kadang-kadang melukiskan Al-Halab, debu primodial yang dengannya segala sesuatu terjadi. Bila tafsiran ini benar dan dapat diterima maka pemilihan motif burung tersebut dalam konteks makam, merupakan suatu yang terkait dengan roh sang Wali sesui dengan ajaran Sufi. Dengan kata lain kesejajaran antara lambang Merak dengan Simurgh merupakan unsure baru dalam ragam hias Islam Peralihan (Mustopo,2001-206).
D. NAGA
naga atau ular sudah dikenal sejak masa prasejarah dan dalam kesenian Hindhu-Budhha yang dianggap lambang kesucian serta lambang keabadian. Motif tersebut banyak menghiasi bangunan suci Hindhu-Budhha, diantaranya teras pendapa dan Candi Naga di Panataran. Hal ini terkait dengan erat dengan Gunung Meru, serta air keabadian. Lebih jauh lagi berkaitan dengan tempat meditasi para raja untuk menyatu dengan dewa penjelmaannya. Dalam kerangka ini cukup menarik karena di Komplek Makam Sendang Duwur terdapat ragam hias Naga atau ular yang berada di dinding kiri halaman ke II yang menghadap ke timur. Pahatannya yaitu dua ekor Naga yang ekornya terjalin dalam bentuk relief. Dalam Pintu Gerbang E dan B yang berbentuk paduraksa terdapat ragam hias Kepala Kala yang disambung dengan kepala rusa, perpaduan hiasan disebut Kala-muga. Ragam hias Naga atau ular merupakan lambang dari tangga pelangi untuk menuju ke alam atas. Hal ini menunjukkan bukti adanya kesinambungan dengan tradisi seni hias pra-Islam.
E. GAJAH
Gajah merupakan binatang yang mempunyai badan besar dan dapat dipakai kendaraan dalam perang. Selain itu gajah mempunyai kekuatan besar, maka ragam hias gajah dipandang sebagai lambang keberanian dan kekuatan. Gajah sebagai kendaraan, maka apabila dihubungkan dengan kematian ragam hias gajah digunakan sebagai lambang penghantar roh orang yang telah meninggal dan dilihat dari fisiknya gajah juga digunakan sebagai lambang kesuburan. Di Indonesia masa lampau gajah hanya boleh dimiliki oleh raja dan pada saat itu hanya raja dan orang yang terpenting yang boleh menaikinya sehingga gajah melambangkan kebesaran. Dalam cerita pewayangan negeri Hastinapura berarti Negeri gajah yang dimaksud adalah negeri besar.
Kemampuan seniman atau pemahat dalam menggayakan kepala gajah sangat menonjol sehingga keindahan lebih tampak dari pada sifat menyeramkan. Di Bali, untuk menghias bangunan penempatan karang gajah biasanya pada bidang sudut atau ukiran perabot rumah tangga dan perhiasan (Hamzuri, 2000: 126-127). Bila menilik dari pendapat diatas maka ragam hias di Pintu Gerbang E dan B di Komplek Makam Sendang Duwur yang berada di bangunan bagian atas disudut kiri yang berhiaskan kepala gajah dapat diduga dijadikan wahana roh yang meninggal di Komplek Makam Sendang Duwur.
Oleh: Ferry Riyandika
A.SAYAP BURUNG
Pintu Gerbang (Paduraksa) bersayap di Komplek Makam Sendang Duwur dihiasi dengan motif-motif yang lazim ditemukan dalam gunung, seperti: bukit, batu cadas, kolam, gua, motif awan dan berbagai jenis flora dan fauna. Ragam hias di Pintu Gerbang B yang terdapat hiasan sayap menggambarkan sebuah gapura beratap yang pintunya tertutup, dengan sayap bulu dikanan kirinya bangunan ini nampak ditengah bukit karang dan pepohonan yang mirip randu alas (randu hutan). Ragam hias berupa “curing” menambah kesan lingkungan batu kapur (cadas) yang banyak dipakai untuk bangunan cungkup dan patung. Disudut kiri atas terdapat bingkai kosong, mungkin untuk memahat angka tahun atau inskripsi lain yang belum jelas.
Helai bulu yang tersusun simentris membentuk sayap yang ujung kedua sayapnya runcing melengkung keatas, berbeda dengan hiasan sayap dipintu gerbangnya, yang tersusun tiga lapis. Pangkal hiasan sayap tersebut tertutup dengan ragam hiasan lengkung kedalam. Atap gapura cukup menarik karena berupa gugusan puncak bukit yang tersusun dengan kemuncak dengan tepi yang membentuk siluet teratai dan dihiasi dengan aneka ragam motif.
Diatas anbang pintu terdapat hiasan kala merga, yang menyusur kebawah hingga dipertengahan pilar-pilar. Ragam ini merupakan ragam hias yang sudah dikenal pada masa Hindhu-Buddha. Sayap yang mengapit kanan-kiri Pintu Gerbang (paduraksa) B ini direntang, dihias dengan berbagai motif antara lain gugusan bukit, gua bersayap, bangunan bertiang tunggal, dan berbagai jenis flora. Seperti dikemukakanj B. Kempers, pintu gerbang bersayap melambangkan gunung, yaitu Gunung Meru, tempat bersemayamnya para dewa. Dalam kesenian Islam peralihan, desain tersebut tetap populer (Mustopo, 2001: 201-203). Ragam hias gunung bersayap juga terdapat pada Pintu Gerbang E dan dahulu terdapat sayap di pintu gerbang tersebut namun kini tidak ada kemungkinan hancur atau roboh.
Selain itu terdapat panil bersayap dibawah cungkup Sunan Sendang. Panil berbingkai belah ketupat dihiasi dengan gambar bukit bersayap dengan paranoma daerah bukit berkarang yang banyak dijumpai di daerah Gugusan Kendeng Utara.
Ragam hias sayap biasanya dikaitkan dengan burung. Tema tentang burung banyak terdapat pada syair Sufi. Cerita Nabi Sulaiman yang dapat memahami ucapan burung telah dibahas oleh Farid al-Din Attar di dalam Mantiq al Tayr. Secara esoteris, motif burung dapat dikaitkan dengan ucapan burung, yaitu pancaran atau bisikan halus dari Allah kepada Nabi Muhammad yang merupakan wahyu pedoman hidup manusia aagar memperoleh keselamatan. Didalam suluk Malang Sumirang pupuh IV baris 23-26, burung dengan segala bagiannya merupakan lambang syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Jadi dari beberapa keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa motif sayap yang terdapat di Komplek Makam Sendang Duwur mengandung makna ajaran pelepasan manusia dari sifat dan nafsu dunia untuk mencapai kesempurnaan.
B. SINGA
Dikomplek Makam Sendang Duwur terlihat hasil-hasil perpaduan yang menarik antar tradisi seni Majapahit dan tradisi seni Islam pada umumnya tidak menyukai bentuk-bentuk yang bersifat zoomorfik naturalis. Menurut F.D.K.Bosch, singa sebagi lambang dan hias dalam kesenian pada umumnya masih belum cukup diteliti secara mendalam. Namun menurut faktanya singa banyak digunakan dalam seni patung dan ragam hias artefak maupun bangunan dari periode Hindhu-Budhha dan Islam.
Dari masa awal perkembangan Islam, patung singa dan kayu yang menghiasi tangga cungkup Sunan Sendang merupakan contoh cirri-ciri peralihan dalam seni patung Islam saat itu. Patung singa yang berada di makam Sunan Drajad dan patung singa di cungkup makam Sunan Sendang melihatkan kesamaan.Patung Singa di yang dahulu terdapat diatas pangkal pipi tangga pintu cungkup makam Sunan Sendang terdapat dua ekor yang keduanya dalam pose duduk dan bentuk mulutnya mirip dengan mulut singa yang menganga yang bersifat naturalistic. Sekarang patung singa tersebut berada di Museum Arkeologi yang berada di Jakarta.
Ornamen singa juga terdapat di pilar Pintu Gerbang E, sebelah kiri menghadap keselatan yang merupakan ornament Singa bersayap. Singa bersayap ini dalam relief dalam posisi duduk, dan pada kepalanya tampak hiasan semacam tanduk, yang tidak lain adalah gambar telinganya. Mulutnya terbuka, terlihat diujungnya melengkung terangkat keatas. Kadang-kadang rahang atasnya yang melengkung seperti belalai, sehingga memberi kesan bahwa pahatan itu menggambarkan seekor gajah.
Singa sebagai ornament dikenal secara luas dan bersifat universal. Pada umumnya melambangkan matahari, keperkasaan, pelindung terhadap pengaruh jahat dan pembe-basan. Dalam kepercayaan Ibrani, singa merupakan kendaraan judas dan menunjukkan mata angina selatan. Dalam peradaban kuno, lambang kemaharajaan, amtahari dan cahaya dan dalam kesenian Islam Singa dikenal sebagai pelindung terhadap bahaya dan roh jahat. Penempatan patung dan ragam hias zoomorfik dimakam seorang wali terutama di Jawa cukup menarik karena tidak dijumpai pada makam-makam Islam di dunia Islam umumnya. Menghiasi makam dengan patung serta ragam hias makluk bernyawa (fauna) masih dapat diterima muslim saat itu, dan jelas merupakan sauatu survival dan tardisi menghias bangunan pendharmaan raja-raja par-Islam (Mustopo, 2001: 200-201).
C BURUNG MERAK
Pada masa peralihan terutama di Komplek Makam Sendang Duwur yang berada di Pintu Gerbang E di halaman I terdapat hiasan Burung Merak. Burung Merak merupakan fauna asli dan hidup dikawasan hutan Indonesia. Dalam kesenian, jenis burung ini banyak digunakan sebagai ragam hias pada artefak serta bangunan, contoh pada masa Hindhu-Budhha antara lain di Candi Panataran (Palah), Candi Sumberjati (Simping) yang merupakan tempat pendharmaan raja Majapahit Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) yang memerintah dari tahun 1293-1309 M, dan di bagian atas relief di Penanggungan LXVII. Dalam kesenian Hindhu-Buddha Burung Merak dikenal sebagai binatang kendaraan dewa perang Skanda atau Kartikeya, putera Siwa dan Parwati.
Dalam kesenian Cina Burung Merak tersebut juga popular sebagai salah satu ragam hias, dan barang kali dalam gayanya yang khas ikut mempengaruhi seni rupa di Indonesia pada periode Islam Peralihan. Hal ini dapat dilihat pada hiasan hasil seni batik dari Pekalongan dan Lasem. Biasanya burung merak digambarkan dengan ekor dan sayap yang mengembang. Burung lain yang banyak dijumpai dalam ornamentik ialah Burung Phoenix, ragam hias ini mungkin berasal dari pengaruh kesenian Cina yang berkembang di Indonesia di Daerah pusat perdagangan pantai Utara Jawa Timur. Burung Phoenix dapat dikenal dari ekornya yang panjang yang digambarkan berombak, dan kepalanya berjambul, bulu-bulu ekornya sering juga dihiasi dengan “mata”, seperti halnya dengan bulu Merak, hingga kedua burung tersebut tidak selalu dapat dibedakan (Mustopo, 2001: 205-206).
Relief Merak di Komplek Makam Sendang Duwur terutama di bagian tubuh Pintu Gerbang E sepintas lalu menyerupai Burung Phoenix, jenis burung yang juga dikenal secara luas, di kalangan Sufi disebut “Simurgh”, dalam mitologinya burung ini bertempat tinggal di Gunung Qaf. Burung ini melambangkan angina yang mengandung kekuatan dahsyat, dan secara spiritual Allah membuka jasad material dunia ini. Burung tersebut adalah lambing ruh wali atau wali sendiri. Menurut Arnstrong, Burung Simurgh merupakan burung legendaris yang bernama tanpa bentuk, Simurgh kadang-kadang melukiskan Al-Halab, debu primodial yang dengannya segala sesuatu terjadi. Bila tafsiran ini benar dan dapat diterima maka pemilihan motif burung tersebut dalam konteks makam, merupakan suatu yang terkait dengan roh sang Wali sesui dengan ajaran Sufi. Dengan kata lain kesejajaran antara lambang Merak dengan Simurgh merupakan unsure baru dalam ragam hias Islam Peralihan (Mustopo,2001-206).
D. NAGA
naga atau ular sudah dikenal sejak masa prasejarah dan dalam kesenian Hindhu-Budhha yang dianggap lambang kesucian serta lambang keabadian. Motif tersebut banyak menghiasi bangunan suci Hindhu-Budhha, diantaranya teras pendapa dan Candi Naga di Panataran. Hal ini terkait dengan erat dengan Gunung Meru, serta air keabadian. Lebih jauh lagi berkaitan dengan tempat meditasi para raja untuk menyatu dengan dewa penjelmaannya. Dalam kerangka ini cukup menarik karena di Komplek Makam Sendang Duwur terdapat ragam hias Naga atau ular yang berada di dinding kiri halaman ke II yang menghadap ke timur. Pahatannya yaitu dua ekor Naga yang ekornya terjalin dalam bentuk relief. Dalam Pintu Gerbang E dan B yang berbentuk paduraksa terdapat ragam hias Kepala Kala yang disambung dengan kepala rusa, perpaduan hiasan disebut Kala-muga. Ragam hias Naga atau ular merupakan lambang dari tangga pelangi untuk menuju ke alam atas. Hal ini menunjukkan bukti adanya kesinambungan dengan tradisi seni hias pra-Islam.
E. GAJAH
Gajah merupakan binatang yang mempunyai badan besar dan dapat dipakai kendaraan dalam perang. Selain itu gajah mempunyai kekuatan besar, maka ragam hias gajah dipandang sebagai lambang keberanian dan kekuatan. Gajah sebagai kendaraan, maka apabila dihubungkan dengan kematian ragam hias gajah digunakan sebagai lambang penghantar roh orang yang telah meninggal dan dilihat dari fisiknya gajah juga digunakan sebagai lambang kesuburan. Di Indonesia masa lampau gajah hanya boleh dimiliki oleh raja dan pada saat itu hanya raja dan orang yang terpenting yang boleh menaikinya sehingga gajah melambangkan kebesaran. Dalam cerita pewayangan negeri Hastinapura berarti Negeri gajah yang dimaksud adalah negeri besar.
Kemampuan seniman atau pemahat dalam menggayakan kepala gajah sangat menonjol sehingga keindahan lebih tampak dari pada sifat menyeramkan. Di Bali, untuk menghias bangunan penempatan karang gajah biasanya pada bidang sudut atau ukiran perabot rumah tangga dan perhiasan (Hamzuri, 2000: 126-127). Bila menilik dari pendapat diatas maka ragam hias di Pintu Gerbang E dan B di Komplek Makam Sendang Duwur yang berada di bangunan bagian atas disudut kiri yang berhiaskan kepala gajah dapat diduga dijadikan wahana roh yang meninggal di Komplek Makam Sendang Duwur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar