Oleh: Ferry Riyandika
Serat Centhini merupakan salah satu sebuah karya sastra yang ditulis oleh sejumlah pujangga di lingkungan Keraton Surakarta, diantaranya adalah Radèn Ngabèi Yasadipura II (Radèn Tumênggung Sastranagara), Radèn Ngabèi Sastradipura (Kyai Haji Mohammad Ilhar), mereka juga dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurarêja dari Klaten dan Kyai Kasan Bêsari dari Panaraga yang merupakan menantu Sinuhun Pakubuwana IV, serta Kyai Mohamad Minhad dari Surakarta. Penulisan tersebut diperintah oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa.
Serat disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram pada tahun 1636 Masehi. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga, dan seorang putri bernama Rancangkapti.
Dalam perjalanan itersebut akan ditekankan kepada kisah perjalanan Jayengresmi ke Blitar. Jayengresmi melakukan perjalanan dari Kedaton Giri ke Majapahit hingga sampai di Karang telah mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuna, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, alamat bunyi burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersanggama, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syeh Siti Jenar.Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya. Adapun urainnya sebagai berikut.
1. Mengunjungi Candi Panataran
“……Lêpas lampahnya dumugi candhi Panataran Blitar nèng ardi Kêlud sukune sela cêmêng kang kinarya agêng ingkang sajuga wit ngandhap tumêkèng pucuk ingukir ginambar wayang. Radyan gya minggah ing candhi tundha pitu praptèng pucak udhunira alon-alon, Gathak Gathuk barangkangan tyas agung tarataban têkèng ngandhap Gathuk muwus Gathak mau gambar apa kang ingukir pinggir candhi lunglungan cêplok kêmbangan mèmpêr wayang buta kêthèk Gathuk ing pangiraningwang gambare Rama tambak katara kêthèke brêngkut candhi alit tininggalan Lir cungkup wangunanèki ing sanginggiling wiwara sinêrat sastra Budane, Gathuk matur inggih radyan punika kadiparan kajênge sastra puniku pating pênthalit tan cêtha. Rahadyan ngandika aris sastra Buda papèngêtan sèwu rongatus etunge sangang puluh siji warsa nalikane akarya ing sanggar pamujan iku, manthuk-manthuk Gathuk Gathak …” (Kamajaya, 1992: 55-56).
Bahwa dikisahkan perjalanannya dari bekas keraton Majapahit, mereka sampai di Candi Panataran, Blitar, di lereng Gunung Kelud. Batu candinya berwarna kehitam-hitaman dan merupakan karya yang sangat agung. Pada saat mereka berada di ukiran bergambar (relief) wayang, Raden Jayengresmi naik keatas secara pelan-pelan sedangkan Gathak Gathuk dengan cara merangak ke atas. Kemudian mereka kembali lagi kebawah. Gathuk Gathak akan menggambar apa yang diukir di pinggir candi diantaranya adalah gambar ceplok bunga, gambar wayang buta kêthèk (anoman), gambar Rama menambak lautan yang kelihatan ada kera.
Melihat dari uraian tersebut maka yang dimaksud adalah gambaran dari relief cerita Hanoman mengunjungi Negeri Alengka tempat Rahwana membawa sinta (Anoman Duto). Relief ini berada di teras pertama Candi Induk Penatara.
2. Mengunjungi Arca Ki Gaprang.
“….Tapis dènnira mirsani mentar sangking Panataran awirandhungan lampahe ngancik padhêkahan Gaprang miyat kang rêca sela| kakalih èstri myang jalu anèng sapinggiring marga sêkar konyoh amênuhi dupanira datan kêndhat tinêngga palawangane Gathak Gathuk lon tatanya kiyai niku napa jurukunci lon sumaur bagus niki panyadranan kang jalêr nama Kiyai, èstri nama Nyai Gaprang pan dadya pakaulanekang samya aminta barkah nyunyuwun ge susuta sarat lênggah kalihipun ngungkurakên kyai rêca. Lah punika palanangan ingkang ngadêg sipat grananya kyai ingkang samya anunuwun sawusing adudupa nulya matur punapa sakajatipun lamun nyuwun ge susuta kalihe samya nglinggihi ing pucuking palanangan kang wus klakyan tumuntên darbe siwi. Gathak Gathuk angacêmut i tobat nora nyana ingkang jêjêr ngathêr iki dadi pêlus…” (Kamajaya, 1992: 56).
Mereka akhirnya melakukan perjalan hingga sampai di Arca Kyai Gaprang yang mempunyai istri Nyai Gaprang. Tempat tersebut digunakan untuk meminta berkah (nyadran) dengan cara duduk di depan arca yang memegang Phalus (alat Kelamin). Hingga sekarang arca tersebut masih berada di Desa Gaprang, Kecamatan Kanigoro. Situs ini terdiri dari beberapa kumpulan peninggalan diantaranya arca memegang Phalus, dua Kepala Naga, batu candi, Kala, miniatur candi dan sebagainya.
3. Mengunjungi Lodaya (Gong Kyai Pradah).
“...radyan lajêng lampahira manjing Lodhaya wanadri miyat wisma lit gêdhègan payon atêp ing salêbêting panti êgong sajuga gumandhul nulya kampir rahadyan tan adangu jurukuncinira rawuh tatanya punapa karsa Gathak Gathuk lon nyauri kula mung kampir kewala kadipundi dene gong nèng wanadri jurukunci sauripun sampun kina-makina pan dumadya pupundhène tyang sadhusun naminipun Kyai Pradhah sintên ingkang darbe kardi mawi anabuh gamêlan tamtu ngangge êgong Pradhah Kiyai yèn tan makatên saèstu bilai kasusahan sabên dintên mila dinupan kumêlun sinêkaran binorèhan dadya warni nganti kuning..."(Kamajaya, 1992: 56).
Dikisahkan bahwa setelah dari Arca Kyai Gaprang, ketiga pengelana tersebut menuju ke Lodoyo untuk melihat gong Kyai Pradah. Hingga seekarang Gong Kyai Pradah masih subur dan selalu menjadi ajang upacara ritual siraman saat menjelang awal bulan Maulud atau Rabiul Awal. Gong Kyai Gaprang berkisah dari kira-kira pada tahun 1704-1717 M di Surakarta bertahtalah seorang Raja yang bergelar Sri Susuhuan Pakubuwono I dalam sejarah disebut Pangeran Puger yang merupakan keturunan dari Amangkurat I. Raja ini mempunyai saudara yang lahir dari istri Ampean (bukan permaisuri) bernama Pangeran Prabu. Ketika Sri Susuhunan pakubuwono I dinobatkan menjadi raja, Pangeran Prabu kecewa hatinya,karena sebenarnya ia berkeinginan dan berambisi menjadi raja. Maka dari itu ia merencanakan untuk membunuh adiknya, namun rencana ini telah diketahui oleh adiknya sebelumnya dilaksanakan. Sebagai hukuman dari keinginan itu, ia diharuskan pergi ke daerah Lodoyo untuk menebang hutan lebat ini untuk dijadikan daerah pedesaan dengan membawa Gong Kyai Bicak/ Kyai Paradah (Riyandika,2008: 2). Kisah kunjungan di Lodaya juga pernah dilakukan oleh Hayam Wuruk pada masa keemasan Kerajaan Majapahit.
Serat Centhini merupakan salah satu sebuah karya sastra yang ditulis oleh sejumlah pujangga di lingkungan Keraton Surakarta, diantaranya adalah Radèn Ngabèi Yasadipura II (Radèn Tumênggung Sastranagara), Radèn Ngabèi Sastradipura (Kyai Haji Mohammad Ilhar), mereka juga dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurarêja dari Klaten dan Kyai Kasan Bêsari dari Panaraga yang merupakan menantu Sinuhun Pakubuwana IV, serta Kyai Mohamad Minhad dari Surakarta. Penulisan tersebut diperintah oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa.
Serat disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram pada tahun 1636 Masehi. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga, dan seorang putri bernama Rancangkapti.
Dalam perjalanan itersebut akan ditekankan kepada kisah perjalanan Jayengresmi ke Blitar. Jayengresmi melakukan perjalanan dari Kedaton Giri ke Majapahit hingga sampai di Karang telah mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuna, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, alamat bunyi burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersanggama, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syeh Siti Jenar.Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya. Adapun urainnya sebagai berikut.
1. Mengunjungi Candi Panataran
“……Lêpas lampahnya dumugi candhi Panataran Blitar nèng ardi Kêlud sukune sela cêmêng kang kinarya agêng ingkang sajuga wit ngandhap tumêkèng pucuk ingukir ginambar wayang. Radyan gya minggah ing candhi tundha pitu praptèng pucak udhunira alon-alon, Gathak Gathuk barangkangan tyas agung tarataban têkèng ngandhap Gathuk muwus Gathak mau gambar apa kang ingukir pinggir candhi lunglungan cêplok kêmbangan mèmpêr wayang buta kêthèk Gathuk ing pangiraningwang gambare Rama tambak katara kêthèke brêngkut candhi alit tininggalan Lir cungkup wangunanèki ing sanginggiling wiwara sinêrat sastra Budane, Gathuk matur inggih radyan punika kadiparan kajênge sastra puniku pating pênthalit tan cêtha. Rahadyan ngandika aris sastra Buda papèngêtan sèwu rongatus etunge sangang puluh siji warsa nalikane akarya ing sanggar pamujan iku, manthuk-manthuk Gathuk Gathak …” (Kamajaya, 1992: 55-56).
Bahwa dikisahkan perjalanannya dari bekas keraton Majapahit, mereka sampai di Candi Panataran, Blitar, di lereng Gunung Kelud. Batu candinya berwarna kehitam-hitaman dan merupakan karya yang sangat agung. Pada saat mereka berada di ukiran bergambar (relief) wayang, Raden Jayengresmi naik keatas secara pelan-pelan sedangkan Gathak Gathuk dengan cara merangak ke atas. Kemudian mereka kembali lagi kebawah. Gathuk Gathak akan menggambar apa yang diukir di pinggir candi diantaranya adalah gambar ceplok bunga, gambar wayang buta kêthèk (anoman), gambar Rama menambak lautan yang kelihatan ada kera.
Adegan menambak laut
Melihat dari uraian tersebut maka yang dimaksud adalah gambaran dari relief cerita Hanoman mengunjungi Negeri Alengka tempat Rahwana membawa sinta (Anoman Duto). Relief ini berada di teras pertama Candi Induk Penatara.
2. Mengunjungi Arca Ki Gaprang.
“….Tapis dènnira mirsani mentar sangking Panataran awirandhungan lampahe ngancik padhêkahan Gaprang miyat kang rêca sela| kakalih èstri myang jalu anèng sapinggiring marga sêkar konyoh amênuhi dupanira datan kêndhat tinêngga palawangane Gathak Gathuk lon tatanya kiyai niku napa jurukunci lon sumaur bagus niki panyadranan kang jalêr nama Kiyai, èstri nama Nyai Gaprang pan dadya pakaulanekang samya aminta barkah nyunyuwun ge susuta sarat lênggah kalihipun ngungkurakên kyai rêca. Lah punika palanangan ingkang ngadêg sipat grananya kyai ingkang samya anunuwun sawusing adudupa nulya matur punapa sakajatipun lamun nyuwun ge susuta kalihe samya nglinggihi ing pucuking palanangan kang wus klakyan tumuntên darbe siwi. Gathak Gathuk angacêmut i tobat nora nyana ingkang jêjêr ngathêr iki dadi pêlus…” (Kamajaya, 1992: 56).
Mereka akhirnya melakukan perjalan hingga sampai di Arca Kyai Gaprang yang mempunyai istri Nyai Gaprang. Tempat tersebut digunakan untuk meminta berkah (nyadran) dengan cara duduk di depan arca yang memegang Phalus (alat Kelamin). Hingga sekarang arca tersebut masih berada di Desa Gaprang, Kecamatan Kanigoro. Situs ini terdiri dari beberapa kumpulan peninggalan diantaranya arca memegang Phalus, dua Kepala Naga, batu candi, Kala, miniatur candi dan sebagainya.
Arca Kyai Gaprang
Arca Kepala Naga
3. Mengunjungi Lodaya (Gong Kyai Pradah).
“...radyan lajêng lampahira manjing Lodhaya wanadri miyat wisma lit gêdhègan payon atêp ing salêbêting panti êgong sajuga gumandhul nulya kampir rahadyan tan adangu jurukuncinira rawuh tatanya punapa karsa Gathak Gathuk lon nyauri kula mung kampir kewala kadipundi dene gong nèng wanadri jurukunci sauripun sampun kina-makina pan dumadya pupundhène tyang sadhusun naminipun Kyai Pradhah sintên ingkang darbe kardi mawi anabuh gamêlan tamtu ngangge êgong Pradhah Kiyai yèn tan makatên saèstu bilai kasusahan sabên dintên mila dinupan kumêlun sinêkaran binorèhan dadya warni nganti kuning..."(Kamajaya, 1992: 56).
Dikisahkan bahwa setelah dari Arca Kyai Gaprang, ketiga pengelana tersebut menuju ke Lodoyo untuk melihat gong Kyai Pradah. Hingga seekarang Gong Kyai Pradah masih subur dan selalu menjadi ajang upacara ritual siraman saat menjelang awal bulan Maulud atau Rabiul Awal. Gong Kyai Gaprang berkisah dari kira-kira pada tahun 1704-1717 M di Surakarta bertahtalah seorang Raja yang bergelar Sri Susuhuan Pakubuwono I dalam sejarah disebut Pangeran Puger yang merupakan keturunan dari Amangkurat I. Raja ini mempunyai saudara yang lahir dari istri Ampean (bukan permaisuri) bernama Pangeran Prabu. Ketika Sri Susuhunan pakubuwono I dinobatkan menjadi raja, Pangeran Prabu kecewa hatinya,karena sebenarnya ia berkeinginan dan berambisi menjadi raja. Maka dari itu ia merencanakan untuk membunuh adiknya, namun rencana ini telah diketahui oleh adiknya sebelumnya dilaksanakan. Sebagai hukuman dari keinginan itu, ia diharuskan pergi ke daerah Lodoyo untuk menebang hutan lebat ini untuk dijadikan daerah pedesaan dengan membawa Gong Kyai Bicak/ Kyai Paradah (Riyandika,2008: 2). Kisah kunjungan di Lodaya juga pernah dilakukan oleh Hayam Wuruk pada masa keemasan Kerajaan Majapahit.
Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar