Laman

Minggu, 31 Juli 2011

Sejarah Kunjungan Jayengresmi ke Blitar

Oleh: Ferry Riyandika

Serat Centhini merupakan salah satu sebuah karya sastra yang ditulis oleh sejumlah pujangga di lingkungan Keraton Surakarta, diantaranya adalah Radèn Ngabèi Yasadipura II (Radèn Tumênggung Sastranagara), Radèn Ngabèi Sastradipura (Kyai Haji Mohammad Ilhar), mereka juga dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurarêja dari Klaten dan Kyai Kasan Bêsari dari Panaraga yang merupakan menantu Sinuhun Pakubuwana IV, serta Kyai Mohamad Minhad dari Surakarta. Penulisan tersebut diperintah oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa.

Serat disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram pada tahun 1636 Masehi. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga, dan seorang putri bernama Rancangkapti.

Dalam perjalanan itersebut akan ditekankan kepada kisah perjalanan Jayengresmi ke Blitar. Jayengresmi melakukan perjalanan dari Kedaton Giri ke Majapahit hingga sampai di Karang telah mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuna, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, alamat bunyi burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersanggama, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syeh Siti Jenar.Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya. Adapun urainnya sebagai berikut.

1. Mengunjungi Candi Panataran
“……Lêpas lampahnya dumugi candhi Panataran Blitar nèng ardi Kêlud sukune sela cêmêng kang kinarya agêng ingkang sajuga wit ngandhap tumêkèng pucuk ingukir ginambar wayang. Radyan gya minggah ing candhi tundha pitu praptèng pucak udhunira alon-alon, Gathak Gathuk barangkangan tyas agung tarataban têkèng ngandhap Gathuk muwus Gathak mau gambar apa kang ingukir pinggir candhi lunglungan cêplok kêmbangan mèmpêr wayang buta kêthèk Gathuk ing pangiraningwang gambare Rama tambak katara kêthèke brêngkut candhi alit tininggalan Lir cungkup wangunanèki ing sanginggiling wiwara sinêrat sastra Budane, Gathuk matur inggih radyan punika kadiparan kajênge sastra puniku pating pênthalit tan cêtha. Rahadyan ngandika aris sastra Buda papèngêtan sèwu rongatus etunge sangang puluh siji warsa nalikane akarya ing sanggar pamujan iku, manthuk-manthuk Gathuk Gathak …” (Kamajaya, 1992: 55-56).

Bahwa dikisahkan perjalanannya dari bekas keraton Majapahit, mereka sampai di Candi Panataran, Blitar, di lereng Gunung Kelud. Batu candinya berwarna kehitam-hitaman dan merupakan karya yang sangat agung. Pada saat mereka berada di ukiran bergambar (relief) wayang, Raden Jayengresmi naik keatas secara pelan-pelan sedangkan Gathak Gathuk dengan cara merangak ke atas. Kemudian mereka kembali lagi kebawah. Gathuk Gathak akan menggambar apa yang diukir di pinggir candi diantaranya adalah gambar ceplok bunga, gambar wayang buta kêthèk (anoman), gambar Rama menambak lautan yang kelihatan ada kera.

Adegan menambak laut

Melihat dari uraian tersebut maka yang dimaksud adalah gambaran dari relief cerita Hanoman mengunjungi Negeri Alengka tempat Rahwana membawa sinta (Anoman Duto). Relief ini berada di teras pertama Candi Induk Penatara.

2. Mengunjungi Arca Ki Gaprang.
“….Tapis dènnira mirsani mentar sangking Panataran awirandhungan lampahe ngancik padhêkahan Gaprang miyat kang rêca sela| kakalih èstri myang jalu anèng sapinggiring marga sêkar konyoh amênuhi dupanira datan kêndhat tinêngga palawangane Gathak Gathuk lon tatanya kiyai niku napa jurukunci lon sumaur bagus niki panyadranan kang jalêr nama Kiyai, èstri nama Nyai Gaprang pan dadya pakaulanekang samya aminta barkah nyunyuwun ge susuta sarat lênggah kalihipun ngungkurakên kyai rêca. Lah punika palanangan ingkang ngadêg sipat grananya kyai ingkang samya anunuwun sawusing adudupa nulya matur punapa sakajatipun lamun nyuwun ge susuta kalihe samya nglinggihi ing pucuking palanangan kang wus klakyan tumuntên darbe siwi. Gathak Gathuk angacêmut i tobat nora nyana ingkang jêjêr ngathêr iki dadi pêlus…” (Kamajaya, 1992: 56).

Mereka akhirnya melakukan perjalan hingga sampai di Arca Kyai Gaprang yang mempunyai istri Nyai Gaprang. Tempat tersebut digunakan untuk meminta berkah (nyadran) dengan cara duduk di depan arca yang memegang Phalus (alat Kelamin). Hingga sekarang arca tersebut masih berada di Desa Gaprang, Kecamatan Kanigoro. Situs ini terdiri dari beberapa kumpulan peninggalan diantaranya arca memegang Phalus, dua Kepala Naga, batu candi, Kala, miniatur candi dan sebagainya.

Arca Kyai Gaprang

Arca Kepala Naga

3. Mengunjungi Lodaya (Gong Kyai Pradah).

“...radyan lajêng lampahira manjing Lodhaya wanadri miyat wisma lit gêdhègan payon atêp ing salêbêting panti êgong sajuga gumandhul nulya kampir rahadyan tan adangu jurukuncinira rawuh tatanya punapa karsa Gathak Gathuk lon nyauri kula mung kampir kewala kadipundi dene gong nèng wanadri jurukunci sauripun sampun kina-makina pan dumadya pupundhène tyang sadhusun naminipun Kyai Pradhah sintên ingkang darbe kardi mawi anabuh gamêlan tamtu ngangge êgong Pradhah Kiyai yèn tan makatên saèstu bilai kasusahan sabên dintên mila dinupan kumêlun sinêkaran binorèhan dadya warni nganti kuning..."(Kamajaya, 1992: 56).

Dikisahkan bahwa setelah dari Arca Kyai Gaprang, ketiga pengelana tersebut menuju ke Lodoyo untuk melihat gong Kyai Pradah. Hingga seekarang Gong Kyai Pradah masih subur dan selalu menjadi ajang upacara ritual siraman saat menjelang awal bulan Maulud atau Rabiul Awal. Gong Kyai Gaprang berkisah dari kira-kira pada tahun 1704-1717 M di Surakarta bertahtalah seorang Raja yang bergelar Sri Susuhuan Pakubuwono I dalam sejarah disebut Pangeran Puger yang merupakan keturunan dari Amangkurat I. Raja ini mempunyai saudara yang lahir dari istri Ampean (bukan permaisuri) bernama Pangeran Prabu. Ketika Sri Susuhunan pakubuwono I dinobatkan menjadi raja, Pangeran Prabu kecewa hatinya,karena sebenarnya ia berkeinginan dan berambisi menjadi raja. Maka dari itu ia merencanakan untuk membunuh adiknya, namun rencana ini telah diketahui oleh adiknya sebelumnya dilaksanakan. Sebagai hukuman dari keinginan itu, ia diharuskan pergi ke daerah Lodoyo untuk menebang hutan lebat ini untuk dijadikan daerah pedesaan dengan membawa Gong Kyai Bicak/ Kyai Paradah (Riyandika,2008: 2). Kisah kunjungan di Lodaya juga pernah dilakukan oleh Hayam Wuruk pada masa keemasan Kerajaan Majapahit.

Upacara Siraman Gong Kyai Pradah

Sabtu, 30 Juli 2011

Sejarah Kisah Para Maling Sakti (Aguno) dari Masa ke masa

Oleh: Ferry Riyandika.

Maling Sakti (Aguno) merupakan sebuah cerita tutur yang di beritakan secara turu temurun oleh pendahulu kita. Maling Sakti (Aguno) banyak sekali versinya, diantaranya adalah versi Maling Aguno yang berbuat baik untuk membantu atau menbela kaum yang lemah dengan versi Maling Aguno yang berbuat menyimpang yaitu menculik putri-putri cantik. Banyak sekali versi nama tokoh Maling Sakti (Aguno) ini, di daerah Karisidenan Kediri menyebut tokoh ini dengan nama Maling Gentiri dan Adapula di daerah lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah hanya menyebut tokoh ini dengan Maling Aguno saja. Selain itu kisah Maling juga terdapat dalam relief teras ke dua di candi induk Penataran.

1. Versi Maling Gentiri Budiman.

Maling Gentiri merupakan sosok tokoh yang disukai oleh kalangan orang miskin, namun dibenci para konglomerat jaman dulu. Mereka berupaya sekuat tenaga agar Maling Gentiri bisa diakhiri.Merekapun menjadikan Maling Gentiri sebagai buronan nomor satu di wilayah Kediri dan sekitarnya. Tetapi dengan kesaktian Maling Gentiri membuat para konglomerat kewalahan dan putus asa, karena Maling Gentiri berkali-kali tertangkap,tidak pernah bisa dihabisi. Menurut kisahnya Maling Gentiri memiliki Ilmu Ajian Pancasona (mirip kisah Rahwana dan kisah dalam Angling Darma versi televisi swasta). Ilmu ini sebuah ilmu kadigdayan yang memungkinkan pemiliknya hidup kembali meski berkali-kali dibunuh,asal raganya tetap menyatu dan darahnya tidak menyentuh tanah. Dengan usaha yang selalu gagal, maka para konglomerat bersekongkol untuk menamatkan riwayat Maling Gentiri,akhirnya menemukan titik kelemahan sang pendekar. Ketika Maling Gentiri tertangkap untuk kesekian kalinya,tubuh pencuri budiman itu lalu dipotong-potong dan dikubur terpisah di beberapa tempat, bagian kepalanya itulah,yang diyakini dikubur di lapangan Ringin Sirah, yang terletak di dekat mall Sri Ratu, Kota Kediri. Ada yang menyebutkan bahwa kyai Gentiri tidak lain adalah Ki Boncolono yang bagian tubuhnya dimakamkan di Bukit Maskumambang, Kediri.

Adapun kisah Ki Boncolono dari penuturan warga merupakan tokoh legenda yang dimana hidup di jaman penjajahan Belanda. Masyarakat Kediri hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan. Perkonomian dikuasai oleh Belanda dan diperlakukan pajak yang tinggi. Hasil buminya selalu dirampas jika tidak mau bayar pajak . Untuk makan saja mereka harus membeli kepada Belanda. Hal ini lah menggugah hati Ki Boncolono. Dia marah melihat kelakuan Belanda tersebut akan ketidak adilannya. Dengan kesaktiannya dibantu oleh Tumenggung Mojoroto dan Tumenggung Poncolono beserta murid-muridnya yang tentu saja sakti-sakti, dia merampok harta para pejabat Belanda. Hasilnya dia bagikan kepada rakyat jelata.

Belanda merasa geram dan marah, segala upaya mereka lakukan untuk meringkus Ki Boncolono. Tetapi usahanya selalu gagal. Setiap terkepung, Ki Boncolono hanya merapatkan diri pada salah satu tiang atau tembok atau pohon dan hilanglah dia. Biarpun ditembak dibunuh dan diapapun juga Ki Boncolono tidak bisa mati, dia bisa hidup lagi ketika tubuhnya menyentuh tanah. Belanda akhirnya putus asa dan mengadakan sayembara dengan hadiah yang sangat besar untuk menangkap atau membunuh Ki Boncolono. Beberapa orang yang tahu kelemahan ilmu Ki Boncolono mendatangai Belanda. Mereka memberi tahu bahwa Ki Boncolono harus dipenggal, kepala dan tubuhnya harus terpisah dan dikuburkan pada tempat yang terpisahkan oleh sungai.
Akhirnya setelah membuat rencana dengan bantuan pendekar pribumi, Belanda melaksanakannya dengan cermat. Akhirnya Ki Boncolono tertangkap dan dibunuh.

Sebelum dia hidup lagi, tubuhnya dipotong jadi dua. Bagian bawahnya di kubur di bukit Maskumambang. Sedangkan bagian atasnya (kepalanya) di kubur di "Ringin Sirah", desa Banjaran. Kalau bukit Maskumambang terletak di barat sungai Brantas, maka Ringin Sirah terletak di timur sungai Brantas. Dipuncak bukit Maskumambang selain makamnya Ki Boncolono terdapat juga dua buah makam lagi yaitu makamnya Tumenggung Mojoroto dan makamnya Tumenggung Poncolono.

Hal ini tidak berbeda juga dalam kisah masayarakat di Desa Kawengan, Kecamatan Jepon, Daerah Blora, Jawa Tengah. Kisahnya bahwa Gentiri adalah putra dari Kyai Ageng Pancuran yang saat hidupnya mempunyai kesaktian tinggi, suka menolong kepada oorang yang sedang kesusahan, orang yang tidak mampu dan sebagainya. Akhirnya Gentiri suka mencuri (maling) namun bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain yang sedang kesusahan. Maling Gentiri dijuluki Ratu Adil yang dianggap sebagai tokoh yang suka mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Dengan perjalanan sejarah yang panjang akhirnya Maling Gentiri sadar dan semua perbuatan yang melanggar hukum dia tinggalkan, hingga akhirnya dia meninggal dan dimakamkan di Ds. Kawengan, Kecamatan Jepon.

Kisah Maling Gentiri (Ki Boncolono) ini di Kalangan Masyarakat Dukuh Kawedusan, Desa Kawedusan, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar disebut dengan Maling Aguno(Sakti) saja yang juga memiliki sifat kearifan terhadap masyarakat yang lemah. Hal ini mengingatkan akan kisah dari Sunan Kalijaga sebelum menjadi Wali, Dimana telah menjarah pangan di Kadipaten Tuban, tempat ayahnya berkuasa guna untuk dibagikan kepada masyarakat yang lemah dan membutuhkan dan Kisah dari Si Pitung dari Batavia (Jakarta).

2. Versi Maling Gentiri Penculik Putri.

Disekitar Muria yaitu pantai utara daerah Jepara, Tayu, Pati, Juana, Kudus dan lereng-lereng Gunung Muria terdapat cerita rakyat tentang Maling Gentiri atau Maling Aguna. Adapun kisah ceritanya secara singkat sebagai berikut.

Pada suatu hari di rumah Ki Ageng Ngerang diadakan syukuran. Tamu dari jauh dan dekat telah datang. Ki Ageng Ngerang sebagai orang yang paling dituakan karena kearifan, kepandaiannya, sehingga banyak yang hadir dalam perjamuan tersebut. Terutama para muridnya Sunan Ngerang, antara lain termasuk Sunan Kudus, Sunan Muria, Adipati Parthak Warak dari Pulau Mandalika Jepara, Kapa dan adiknya Gentiri dan lain-lainnya. Ketika anak Ki Ageng Ngerang, Roroyono bersama adiknya, Roro Pujiwati ke luar untuk menghidangkan minuman dan makanan, banyak tamu yang hadir terpesona dan memuji keduanya. Adipati Pathak Warak tak bisa menahan nafsu, melihat gadis jelita. Akhirnya dia berbicara dengan Roroyono akan maksud untuk memilikinya, namun Roroyono tidak mengindahkan akan maksud pembicaraan Adipati Pathak Warak karena tidak memiliki sopan santun terhadap wanita. Pada malam itu juga Roroyono diculik oleh Adipati Phatak Warak ketika semua tamu pulang. Roroyono dibawa menuju hutan belantara. dibawa lari ke Pulau Mandalika.

Keesokan harinya gemparlah rumah Ki Ageng, semua sibuk mencari keberadaan Dewi Roroyono, namun tidak menunaikan hasil. Akhirnya Ki Ageng mengumumkan sayembara, barang siapa yang dapat merebut kembali puterinya dari tangan Patak Warak, dan membawa kembali Dewi Roroyono ke Ngerang, bila lelaki akan nikahkan dengan Roroyono, bila perempuan akan dijadikan saudara. Setelah sayembara diumumkan, semua muridnya Sunan Ngerang terdiam tidak ada yang berani tunjuk jari, mengajukan diri. Mereka tidak berani melawan Adipati Patak Warak kecuali Sunan Muria. Pada saat Sunan Muria menuju ke arah utara, selang beberapa saat kemudian Kapa dan Gentiri menyusul Sunan Muria. Dalam pembicaran tersebut terjadilah kesepakatan, bahwa Kapa dan Gentirilah yang akan menunaikan tugas, menjalani sayembara merebut Roroyono ke Mandaliko. Adapun bila nanti berhasil dalam tugas yang berhak memiliki Dewi Roroyono adalah kanjeng Sunan Muria. Kesepakatan tersebut disepakati ketiga murid Ki Ageng Ngerang. Hal ini disepakati karena Kapa dan Gentiri adalah muritnya Sunan Ngerang yang termuda. Dan keduanya bersedia berbuat demikian karena menghormati Sunan Muria, sebagai murid yang senior, berwibawa dan terhormat dimata masyarakat.

Berangkatlah Kapa dan Gentiri menyeberang Ke Pulau Mandaliko. Sementara Sunan Muria kembali ke padepokan Muria Ia Pasrah dan mempercayakan penuh nasib Dewi Roroyono kepada keduanya. Dari kejauhan Kapa dan Gentiri diawasi oleh Anak buah Patak Warak, mereka melaporkan bahwa dua orang yang mencurigakan memasuki kawasan Pulau Mandaliko. Kedatangan kedua orang tersebut membuat Patak Warak curiga. Pada malam hari, Kapa mendengar suara merintih dari rumah Patak warak bagian belakang. Ia membangunkan adiknya untuk segera menyelidiki arah suara tersebut. Dari celah-celah tembok bambu mereka melihat Roroyono yang sedang disekap di kamar belakang. Patak Warak mencoba merayu Roroyono agar mau dijadikan istri, ia memberontak melepaskan tangan kekar Patak warak. Jeritan minta tolong itulah yang membuat Gentiri tergerak hatinya untuk mendobrak pintu dan menyambar tubuh Roroyono dibawa kabur.

Sementara Kapa menghadapi Patak Warak. Mereka berdua bertempur di belakang rumah, sementara Gentiri yang menggendong Roroyono berlari masuk hutan. Kapa lari mengejar Gentiri, di pinggir laut, akhirnya ketemu di pelabuhan penyebrangan. mereka melihat perahu yang ditumpangi saudagar bernama Lodhang Datuk. Ia meminta bantuan agar boleh ikut naik parahu menuju ke Pulau Jawa. Lodhang Datuk menyuruh anak buahnya membawa mereka bertiga ke Pulau Jawa, sementara ia menghadapi Patak warak dengan perahu kecil. Akhirnya Patak Warak tewas. Kemudiaan Lodang Datuk menyusul menuju Pulau Sprapat. Maka berhasilah Kapa dan Gentiri membawa kembali sang Dewi Roroyono ke Ngerang. Untuk menghargai jasa dari Maling Kapa dan Maling Gentiri, mereka mendapat hadiah dari Ki Ageng Ngerang, berupa wilayah di Buntar, yang mana keduanya orang itu menjadi penguasa tanah tersebut. sedangkan Dewi Roroyono jadi diambil istri Sunan Muria.

Setelah beberapa hari kemudian Perasaan Gentiri dipenuhi dengan bunga hati dan perasaanya sekarang hanyalah Dewi Roroyono. Kisah cinta gayung bersambut antara Gentiri dengan Roroyono,namun keadaanlah yang membuat lain. Ia harus rela melepas Roroyono kepada Sunan Muria. Siang malam selalu terbayang wajah cantik Roroyono, sehingga mengganggu tidurnya disetiap malam dan mengganggu kerja disetiap saat. Gentiri tak mampu membendung rasa rindunya kepada Roroyono, ia akan merebut Roroyono dari Sunan Muria.

Ketika tengah malam Gentri mengendap-endap memasuki taman kaputren. Roroyono terbangun dan mereka bertemu sambil menggemgam jemari dua insan yang tengah dilanda asmara. Namun Roroyono akhirnya menyadari perbuatannya tersebut. Namun Gentiri melarikan Roroyono, namun baru keluar pintu kaputren ia dipergoki oleh Pengawal kaputren Sunan Muria. Terjadilah perang tanding, Gentiri dikroyok oleh ratusan murid-murid Sunan Muria. Tewaslah Gintiri di padepokan Muria. Berita kematian maling (pencuri) berkerodok yang ketangkap di Padepokan Muria. Ia mati diadili oleh massa, setelah dibuka cadarnya ternyata Gentiri murid dari Kia Ageng Ngerang. Hal ini membuat Maling Kapa berang, Gentiri adalah adik seperguruan dan adik kandung Kapa, ia tidak terima bila adiknya diperlakukan seperti itu.

Kisah tersebut di sebagian besar masyarakat Jawa telah mengenalnya diantaranya kisah cerita rakyat dari daerah Lumajang, yaitu kisah Maling Aguna yang menculik seorang putri bangsawan masa Majapahit. Masyarakat setempat menyebutnya Kedhong Putri. Kisah ini di ilhami dari temuan situs yang berupa reruntuhan bangunan candi dan yoni yaitu Situs Candi Kedhong Putri di Desa Sumberejo dan terletak di areal persawahan, masuk Desa Kloposawit, Kecamatan Candipuro. Sedangkan tempat Maling Aguna juga terletak di wilayah Candipuro yang dimana terdapat situs Goa Maling Aguna di Desa Sumberjo, Kecamatan Candipuro. Goa Maling Aguna berada di kawsan selatan Lumajang yang dilengkapi pemandian putri yang merupakan kompleks kaputren yang sekarang disebut Pemandian Tirtowono di Perum Perhutani Desa Jarit Kec. Candipuro.

3. Versi Maling dari pahatan relief masa Kerajaan Hindhu. 

Kisah tersebut mengingatkan akan cerita dari Kresnayana yang menculik Dewi Rukmini, yang dimana Kakawin Kresnâyana ditulis oleh mpu Panuluh pada saat prabu Jayabaya memerintah di Kediri dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi dengan nama lain Kakawin Hariwangsa (Hari: Wisnu dan Wangsa: Silsilah/ keturunan). Kisah-kisah tentang Krsna sangat banyak. Selain kisah Krsna dalam kakawin Hariwangsa, Kakawin Krsnayana, juga masih ada beberapa kakawin tentang cerita Krsna yaitu: Kalayawanantaka (kematian Kalayawana). Dalam lakon pewayangan, cerita Krsnayana lebih dikenal dengan “Narayana Maling". Adapaun cerita singkatnya dari Kakawin Hariwangsa adalah sebagai berikut.

Wisnu telah menjelma dalam diri Krsna untuk melindungi dunia dan memusnahkan mahkluk-mahkluk jahat (Bhoma, Kangsa, dan Kalayawana) yang mengganggu para dewa dan hanya dapat dibunuh oleh manusia. Di dunia Krsna menanti Sri permaisurinya yang sangat dicintainya. Narada menampakkan diri dan memberitahukan bahwa Sri telah menjelma pada diri Rukmini., anak Bhismaka raja Kudina dengan permaisurinya Pethukirti, yang tiada lain adalah bibi Krsna. Tetapi ia dilamar oleh raja Cedi yang dibantu oleh saudara sepupunya Jarasandha, raja Karawira. Krsna harus cepat bertindak. Ia memutuskan untuk melarikan Rukmini, tetapi ia harus mendapatkan persetujuannya, namun bila Rukmini menolak maka ia siap menggunakan kekerasan. Untuk memperoleh kepastian itu ia mengutus Priyambada, pembantunya dengan sepucuk surat dan hadiah-hadiah.

Sementara itu Rukmini yang merupakan penjelmaan dari Dewi Sri sangat merindukan suaminya Wisnu. Ia khawatir kalau tidak dapat berjumpa lagi dengan suaminya. Dengan ditemani abdinya Kesari, ia meluapkan kesedihannya. Kesari sebenarnya adalah saudara sepupu dari Priyambada. Ketika Kesari bertemu dengan Priyambada, mereka saling membantu untuk mempertemukan kedua sejoli itu. Priyambada menyampaikan sebuah cincin dengan materai Krsna beserta suratnya, lalu menceritakan bagaimana perasaan hati tuannya, Krsna bertekad untuk merebut Rukmini kalau perlu dengan kekuatan. Tetapi Kesari memperingatkan bahwa kekuatan tidak akan membawa kenikmatan, hanya menambah kesusahan. Ia akan berusaha menggerakkan hati tuan putrinya.

Kemudian surat itu disampaikan kepada Rukmini, namun Rukmini menolaknya. Tetapi pada akhirnya ia membacanya dan mengetahui keluh kesah Krsna sehingga membuatnya semakin cemas. Dalam pada itu Nardha mengunjungi Jarasandha dan mengungkapkan rencana Krsna, sehingga membuat dia marah. Kemudian ia membujuk Bismaka untuk segera menikahkan Rukmini dengan raja Cedi. Saat purnama penuh dalam bulan Kartika ditetapkan sebagai hari pernikahan. Rukmini putus asa karena dipaksa menikah tanpa didasari rasa cinta. Ia ingin bunuh diri tapi dicegah oleh Kesari dan diingatkan bahwa Krsna telah bertekad berperang asal dapat merebut Rukmini.

Priyambada kembali dengan supucuk surat. Ketika mengetahui bahwa pernikahan akan segera dilaksakan, maka Krsna tidak membuang waktu dan bersama Priyambada dan adiknya Prawira ia memacu kereta sepanjang malam. Menjelang fajar mereka telah sampai pada perbatasan kota Kudina, lalu ia bersembunyi di hutan. Secara rahasia Priyambada menemui Kesari dan disampaikan bahwa Krsna akan datang pukul tiga. Persiapan pernikahan berlangsung dengan segala kemeriahan, banyak tamu-tamu yang berdatangan. Rukmini menjadi ketakutan. Ketika malam tiba dan penghuni keraton tidur nyenyak, diam-diam keluar menuju tempat Krsna menunggunya. Kemudia Rukmini bersama Krsna dan Kesari naik kereta. Secepat kilat kereta meluncur meninggakan Kudina. Di keraton terjadi hiruk pikuk saat mengetahui Rukmini telah hilang. Sebuah pasukan diutus untuk mengejar mereka, namun mereka sudah terlalu jauh. Krsna dan Rukmini dengan selamat sampai di Dwarawati dan diarak dengan meriah memasuki kota.

Sementara itu Jarasandha mengadakan rapat untuk menundukkan Krsna. Kemudian ia mengutus seorang duta untuk menghadap Pandawa dan memohon kepada Yudistira untuk membantunya. Sebagai pelindung dunia ia berkewajiban menghukum kelicikan Krsna yang telah merampas calon istri raja Cedi. Sebenarnya permintaan ini membuatnya bingung karena ia lebih sayang kepada Krsna daripada nyawanya sendiri. Namun ia tidak dapat menolaknya. Bima marah kepada kakaknya karena membantu Jarasandha yang jahat itu.
Priyambada yang ada di Kudina memberitahukan Krsna tentang rencana Jarasandha, lalu mengutus patihnya Udhawa untuk menghadap kepada Pandawa. Namun Yudhistira tidak ingin mengingkari janjinya. Krsna tidak merasa cemas. Yudhistira akan merasa gembira jika ditembus panah Wisnu-Kresna sehingga ia dapat memasuki surga Wisnu.

Peperangan tidak dapat dihindari lagi. Jarasandha, para Korawa dan kakak Rukmini yaitu Rahma serta raja Cedi berangkat menuju medan pertempuran. Krsna menggerakkan para Wesni dan Yadu. Barisan musuh telah mengambil posisi. Jarasandha di tengah dengan barisan “hutan”, di sebelah timur adalah barisan Korawa dengan barisan “cakra”, di sebelah barat para Pandawa dengan barisan “Garuda”. Sedangkan Krsna menyusun pasukan dalam bentuk “bulan sabit”. Pertempuran berkobar, pasukan Krsna mengalami kekalahan berat. Krsna melancarkan serangan balasan bersama para Yadu dan panahnya Mrtyusammohana (kebekuan maut) yang menyebarkan kematian dan kehancuran di tengah-tengah musuh. Jarasandha maju dengan gadanya yang ajaib, ia tidak dapat mati selama masih memegangnya. Maka dari itu Krsna pura-pura mundur. Ketika Jarasandha mengangkat gadanya hendak membunuh Krsna, pukulan itu di halau oleh mata bijak Baladewa, sehingga gadanya terlepas dan ia jatuh tersungkur tewas. Bhima berpendapat agar perang segera dihentikan, namun Yudhistira tetap ingin meneruskan karena ketika Jarasandha akan mati, ia meminta pertolongan. Namun ketika Nakula dan Sadewa tewas ditangan Baladewa, Bhima menjadi sangat marah. Yudhistira merasa putus asa sehingga mencari kematiannya di medan pertempuran, untuk mencegah Krsna membius dengan panah Mohananya.

Sekarang Arjuna merupakan salah satu Pendawa yang masih hidup dan ia langsung berhadapan dengan Krsna. Keduanya bertempur sengit, namun tiba-tiba mereka menjelma menjadi dewa-dewa. Masing-masing merupakan setengah inkarnasi Narayana (Wisnu), sehingga sebetulnya mereka adalah satu. Ia disembah oleh Yudhistira sebagai dewa segala dewa, Bhrahma, Wisnu, dan Mahaswara bersatu. Yudhistira memohon agar dunia dipulihkan kembali seperti semula, dan yang meninggal dihidupkan kembali. Krsna dan Arjuna kembali menjadi manusia. Air amarta turun dan menghidupkan mereka kembali. Jarasandhalah yang pertama kali menyembah Wisnu dan semenjak itu dia mengikuti ajaran dharma. Setelah itu Wisnu berubah kembali menjadi manusia. Akhirnya Krsna dan Rukmini menikah, hidup bahagia bersama anak-anaknya.

Kisah Kresnayana menculik Dewi Rukmini telah terpahatankan di relief di Komplek Candi Penataran tepatnya di Candi Induk, lantai 2.

Salah satu bagian adegan dari relief  "Narayana Maling" di Candi Induk Penataran

Demikianlah kisah cerita para Maling bebargai versi telah dikenal oleh masyarakat Jawa  sejak masa kerajaan-kerajaan Indonesia, khususnya di Jawa. Pada tahun atau abad kemudian kisah cerita ini di gunakan sebagai penyebaran agama Islam melalui pertunjukan pagelaran wayang, hingga kini telah merakyat dan dikenal oleh kalangan masyarakat luas sekaligus sebagai cerita tutur turun temurun.

Candi Sirah Kencong (Umum)

Oleh: Ferry Riyandika

Candi Sirah Kencong terletak di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten BIitar. Candi Sirah Kencong terletak di sebelah tenggara lereng Gunung Butak pada ketinggian 1040 m dari permukaan air laut. Candi ini ditemukan pada pertengahan tahun 1967, ditemukan ketika pekerja-pekerja kebun akan menanam Pohon Kina. Setelah candi ini diangkat kemudian dipugar kembali oleh dinas kepurbakalaan. Banyak batu-batu yang tidak diketemukan menyebabkan pemugaran tidak dapat diselesaikan dengan sempurna. Setelah dilakukan penggalian ternyata candi tersebut terdiri dari tiga buah bangunan kecil, berderet dari utara ke selatan. Bangunan candi pertama yang terletak di sebelah utara, kemudian bangunan kedua disebelah selatan bangunan pertama (tengah), dan bangunan ketiga terletak paling selatan sendiri. Jarak antara bangunan satu dengan bangunan yang lain sekitar 50 cm. tiga bangunan ini menghadap ke barat. Di muka tiap-tiap bangunan candi terdapat batur cand( Sukamto: 7).


Bangunan pertama disebelah utara terdiri dari sebuah subasemen atau batur dan candi ini memiliki badan, namun atapnya tidak ada. Seperti pada umumnya subasemen candi ini terdiri dari bingkai bawah, tengah, dan atas. Bingkai bawah merupakan pelipit-pelipit baris tingginya 100 cm, lebar dan panjangnya sama 300 cm. pada candi ini tidak terdapat pelipit belah rotan, tetapi bingkai atas sama dengan bingkai bawah. Badan candi, bingkai bawah pelipit mistar diteruskan dengan batang tinggi badan candi 115 cm, sedangkan panjang dan lebarnya sama dengan panjang dan lebar kaki candinya.

Pada batang bangunan ini terdapat relief dangkal yang seperti digores-gores saja yang menggambarkan orang berbadan kurus dalam pose duduk wajrasana. Tangannya direntangkan seolah-olah menoleh ajakan harimau yang membuka mulutnya dan duduk dimukanya. Dibelakang orang tadi terdapat pintu gerbang paduraksa yang bersayap dengan beberapa pohon. Relief ini adalah relief yang diambil dalam adegan atau cerita Bukbuksah Gagangaking. Lukisan ini terdapat di dinding sebelah timur. Orang yang digambarkan pada relief ini dalah pertapa Gagangaking, sedangkan harimaunya adalah harimau putih yang meminta makan bagian tubuh Gagangaking. Jadi relief ini merupakan episode penolakan Gagangaking terhadap permintaan harimau putih. Relief lain pada bangunan pertama sudah sukar diuraikan, sebab sudah samara-samar lukisannya. Pada bingkai atas pojok barat daya terdapat relief kepala seorang tokoh dewa yang sangat primitive (Riyandika, 2010: 67).


Bangunan tengah, bingkai bawah dari subasemen bangunan banyak lukisan yang berwujud naga yang kepalanya bertemu dipojok-pojok, walaupun ukirannya sangat sederhana bentuk semacam ini juga terdapat pada batur pendapa balai agung dikompleks Candi Penataran. Bingkai atas merupakan pelipit garis. Ukuran candi tengah ini sama dengan ukuran candi yang pertama. Pada batang candi terdapat relief-relief manusia yang menyangga naga, tiap-tiap naga disangga oleh lima orang. Orang-orang ini digambarkan menyandang pedang memakai kain seperti wayang golek. Relief ini mengingatkan pada cerita Samodramantana yang terdapat pada kerucut batu (pancuran gunung atau jaladwara) yang berasal dari Sirah Kencong yang sekarang disimpan di Museum Jakarta, juga yang terdapat di Pura Pusering Jagat Pulau Bali dan Candi Naga di Kompleks Percandian Penataran.

Bangunan sebelah selatan, pada bangunan ini mirip bangunan pertama baik kaki maupun badan candi. Relief pada batangnya menggambarkan tiga raksasa yang memakai gelung seperti Bima yang dimuka lebih besar daripada yang dibelakangnya dan dengan latar belakang ombak-ombak air laut. Mungkin sekali relief didinding sebelah barat ini menggambarkan tiga orang raksasa atau episode Bimasuci, yaitu waktu Bima meninggalkan saudaranya akan terjun kelaut. Relief dinding sebelah selatan menggambarkan dua orang juga berlatar belakang laut. Mungkin sekali juga merupakan rangkaian cerita dari Bimasuci. Sedangkan relief dari dinding sebelah timur menggambarkan seorang pendeta yang dihadap cantriknya. Mungkin sekali relief ini merupakan episode waktu Bima menghadap gurunya Durna untuk menanyakan dimana tempat Tirtaamerta. Diperkirakan Candi Sirah Kencong fungsinya untuk altar tempat pemujaan Dewa Gunung (Siva).

Selain itu di daerah Sirah kencong ditemukan beberapa peninggalan purbakala diantaranya empat buah patung raksasa (dwarapala) dengan ukiran yang sangat sederhana, Dwarajala yang berwujud bunga teratai, beberapa umpak persegi empat atap candi, kemuncak candi, tempat air dari perunggu, dua lampu perunggu yang semuannya disimpan di Museum Pusat Jakarta (inventaris museum no 3685, 3688, 3692, 4385).

Kecuali itu pada tanggal 7 September 1976 diketemukan Dwarapala kecil dengan ukuran tinggi 32 cm, lebar dan panjang 22cm dan lingkaran badannya 70 cm dari dukuh Tempursari, Sirah Kencong (Knebel, I910), dua buah inskripsi bertahun 1389 dan 13…. (dua angka puluhan aus), serta sebuah pancuran gunung dari batu (jaladwara). Dilihat dari gaya jaladwara tersebut memberikan petunjuk adanya persamaan gaya pahatan dari abad ke XI-XII (Nurhayati, 1978: 53-56).

Jaladwara yang dipahat terdiri dari landasan gunung yang berupa sebuah teratai, bunga teratai ganda yang bulat, diatasnya menggambarkan kura-kura, dengan kepala menengadah, diatas kura-kura itu berisi gunungan yang terdiri dari tiga bagian yaitu dewa yang saling bergandengan, melingkari gunung tersebut. Seekor naga membelit bagian bawah gunung itu, sedangkan kepala naga tersembul searah dengan kepala kura-kura, sehingga kedua kepala bersusun menghadap kemuka. Badan naga terbelit diatas dewa-dewa tersebut. Bagian puncak gunung terdiri atas lima bulatan yang menyerupai mahkota pancuran gunung. Sebagai latar belakang relief yang menggambarkan naga dan dewa-dewa ini, yang terdiri dari motif batu karang serta flora. Dengan motif itu memberi kesan suasana gunung dengan hutan serta hewan-hewan.

Selain itu terdapat Prasasti Tinulad Ukir Negara ditemukan oleh pekerja perkebunan Komplek Ukir Negara dan diserahkan oleh administrasi perkebunan tersebut yaitu bapak M.S. soewandhi di kebun milik Komplek Ukir Negara di Desa Sirah Kencong, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar. Lempengan-lempengan ini ditemukan bersama-sama sebuah guci bercuping 4. Prasasti Ukir Negara terdiri dari 8 lempeng tembaga, yang dibagi menjadi 3 bagian, beraksara dan berbahasa Jawa Kuno (Issatriadi, 1975: 1-2 ; Suhadi, M & Richandiana. K, 1996: 8-12).

Prasasti Pagiliran

Oleh: Ferry Riyandika

Prasasti Pagiliran terletak  di Dukuh Karang Turi, Desa Jajar, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar. Tepatnya di sebelah barat Situs Mbah Keling yang dibatasi oleh sungai Mlalo dan berjarak 500 Meter. Oleh masyarakat setempat prasasti ini di sebut "Watu Kasur". Prasasti ini tidak lain adalah Prasasti Pagiliran karena menyebutkan sima di Pagiliran. Angka tahunnya adalah 1052 Saka (1130 Masehi), jadi masa Pemerintahan Bameswara Kerajaan Kadiri. Di bagian Prasasti ini berwujud padmasana. Prasasti ini berukuran tinggi 1,58 Meter, Lebar 1 Meter, dan tebal 27 Cm.

Prasasti Pagiliran

adapun transkrpsi yang dibuat oleh Machi Suhadi dan Richadiana K adalah sebagai berikut.
1. swasti sakawarsatita 1056 Saka asadha masa tithi eka dasi krsnapaksa. wa
2. ....irika diwasana (ajna)
3. .... janiwaryyawiryya parakrama digjayottunggadewa tinadah rakrayan maharaja kalih i halu i ranga
4. .... ya krama kumonnaken ikang karaman i pagiliran sapanjing thani kabeh... watek panu.
5........... (aus hingga kebawah)

Selain Prasasti Pagiliran terdapat tinggalan lainnya yang berupa asana arca, tiang batu mirip lingga, batu seperti nisan terbalik, dan atap miniatur candi.

asana arca
Tiang batu mirip lingga

Batu mirip Nisan Terbalik

Atap Miniatur Candi

Senin, 25 Juli 2011

Situs Kapungkuran

Oleh: Ferry Riyandika

Dalam Kakawin Nagarakrtagama karangan Mpu Prapanca telah diberitakan bahwa Hayam Wuruk mengunjungi Balitar dan juga disebutkan adanya tanah sima bagi Desa Kapungkuran. Di Dukuh Kapungkuran, Kelurahan Blitar, Kecamatan Sukorejo terdapat makam legendaris Adipati aryo Blitar. oleh karena itu Kapungkuran merupakan suatu daerah yang dahulunya masuk di wilayah Blitar dan hingga sekarang.Dalam Bangunan ini terdapat tinggalan reruntuhan candi yang ditata kembali diantaranya berupa batas antar makam dengan makam yang lain dahulu terbuat dari batu bata kuno, kemuncak candi yang rusak, terdapat hiasan batu candi yang berbentuk ikal atau pilin, pelipit, salib yunani dan roset bunga. Di Cungkup Makam Adipati Aryo Blitar, kijingnya dan nisan terbuat dari bekas batu bata dan andesit kuno. di antara makam terdapat bongkahan batu andesit yang merupakan pelipit dari bangunan candi.

Reruntuhan Candi

batu mirip lingga semu (Patok)

Hiasan bunga padma mirip Salib Yunani

Lebih lengkapnya lihat di Kunjungan Hayam Wuruk Ke Blitar dan Kunjungan bujangga Manik Ke Blitar di Blog Sebelumnya...

Situs Komplek Makam Tilara

Oleh: Ferry Riyandika

Situs Komplek Makam Tilara terletak di  Kelurahan Blitar, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar. Makam ini terdiri dari dua dua komplek makam, yang pertama makam islam kuno (Tilara) dan Makam Umum. Dahulu di situs ini telah ditemukan dinding batu batu kuno yang berfungsi sebagai dinding kolam (patirthan) yang kini menjadi area sawah di sebelah barat makam, oleh karena itu hingga sekarang tebaran temuan batu bata kuno banyak di Makam dan di area persawahan. Tinggalan lainnya berupa tiga jambangan yang terbuat dari batu andesit yang kini berada di belakang pintu gerbang makam umum tersebut. Kemungkinan besar dahulu tempat ini merupakan sebuah bangunan candi dan patirthan masa Majapahit. Namun setelah masa Islam berkembang di Blitar, Situs Tilara ini dijadikan makam Islam. Komplek Makam Tilara sendiri terdapat 6 makamyang berada di bawah pohon beringin.

Jambangan yang terbalik

Salah satu makam Islam Kuno "Tilara".

Untuk lebih lengkapnya lihatnkisah perjalanan Hayam Wuruk di Blitar dan Kisah Perjalanan Bujangga Manik di Blitar di Blog saya sebelumnya.

Minggu, 24 Juli 2011

Situs GANESHA BORO

Oleh: Ferry Riyandika

Arca Ganesha Bara terletak di Dusun Boro, Desa Tuliskriyo, Kecamatan Sanan Kulon, Kabupaten Blitar. Arca ini memiliki tingginya 1, 50 meter. Arca Ganesha ini keberadaanya sekarang di perkebunan salah seorang di Dukuh Bara, selatan Kota Blitar. Awalnya Arca Ganesha Bara berasal dari Desa Jimbe, Kecamatan Kademangan. Tepatnya di pertemuan Sungai Jimbe dan sungai besar Brantas. Dari candra sengkala yang berada di atas alas tumpuannya bertanggal tahun 1161 Caka atau 1239 Masehi, dengan kata lain awal periode Kerajaan Singhasari (Kempres, 1959: 73).

Ganesha ini memiliki atribut pada umumnya yang dimiliki arca Ganesha lainnya, suatu gading yang runcingnya sudah hilang atau patah, kapak diatas tangan sebelah kiri, helainya jatuh ketempat mangkuk atau pasu tengkorak yang dipegang oleh tangan kanannya. Arca Ganesha ini berposisi duduk, tumpuan beralaskan beberapa tengkorak. Ganesha adalah dewa setengah binatang yang berkepala gajah. Ganesha merupakan dewa penolak bermacam-macam berbagai kesulitan dan bahaya. Dalam hal ini ia menjadikan dirinya yang dilindungi oleh suatu kala besar yang memimpin melawan terhadap pengaruh berbahaya mengancam dia dari pantatnya. Kala tersebut seperti anjing yang besar dan menjulurkan lidahnya.

Sabtu, 23 Juli 2011

Prasasti Talan

Oleh: Ferry Riyandika

Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Desa Babadan, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058 Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan kepala burung garuda serta bersayap. Isi prasasti ini berkenaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan Narasingha. Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.


Selain prasasti, terdapat juga tinggalan lain berupa umpak, ambang pintu, batu candi, dsb

Ambang pintu dan umpak

Situs Mbah Keling

Oleh: Ferry Riyandika

Situs Mbah Keling terletak di Dukuh Karang Turi, Desa Jajar, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar. Situs ini berada di bawah sebuah pohon beringin yang rindang. disebelahnya terhampar luas persawahan. Disitus ini terdapat tinggalan masa pra Islam namun sudah berubah fungsi sebagai makam Islam dan sering dikunjungi orang untuk melakukan ritual upacara nyadran.

Situs ini memiliki beberapa tinggalan berupa 2 buah batu dakon, batu-batu candi yang sekarang tinggal puing-puingnya, umpak, beberapa pahatan batu yang mirip seperti atap candi, nisan masa islam namun tidak berukir,  2 arca yang sayang sekarang sudah tidak berbentuk, namun menurut Danardhana menyatakankan bahwa arca tersebut posisinya duduk dan lutut diangkat yang kedua tangannya merangkul lutut tersebut. Selain itu terdapat satu buah stamba atau lingga semu.

Salah satu Watu dakon

reruntuhan bangunan candi yang salah satunya ada pecahan arca

nisan islam yang dibelakangnya ada lingga semu dan diatasnya ada pecahan arca

Bangunan candi yang beralih fungsi jadi makam Islam


Candi WRINGINBRANJANG

Oleh: Ferry Riyandika

Candi Wringinbranjang terletak di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Letak situs ini berada di Hutan Pinus KPH Malang, lereng barat daya Gunung Kelud, tepatnya di Bukit Gedang. Situs ini terdiri dari Candi Wringinbranjang, gapura untuk memasuki sebuah tempat. Candi Wringinbranjang memiliki bentuk seperti rumah dan kesemuanya terbuat dari batu andesit dari atas sampai bagian kaki candi, menyerupai dengan peninggalan masa Islam yaitu Makam Binti Maimun dan badan candi terdapat hiasan berbentuk binatang (tantri kamandaka). Candi Wringin Branjang berdenah persegi empat dengan panjang 4 meter Lebar 3 meter sedangkan tingginya mencapai 5 meter. Arah hadap candi Wringin Branjang menghadap ke utara. Candi Wringin Branjang memiliki keunikan tersendiri dari candi-candi lainnya; selain bentuknya menyerupai rumah, bangunan ini pun terletak di puncak Gunung Gedang satu area dengan Situs Gunung Gedang. Menurut catatan Knebel tahun 1908, dahulu di dalam Candi Wringin Branjang terdapat sebuah arca dan Yoni namun kini keberadaannya tidak diketahui kembali.


Makam Binti Maumun di Gresik

Atap Candi Wringin Branjang

Pintu Candi Wringin Branjang

Hiasan binatang disebelah sisi barat candi dan lubang udara disetiap sisi candi

Situs Gapura Gunung Gedang

Oleh: Ferry Riyandika

Situs Gunung Gedang terletak 200 meter ke utara dari Candi Wringinbranjang. Gapura menghadap ke selatan dan berorientasi ke utara, berdenah persegi dengan ukuran membujur 1,5 meter dan ukuran melintang 2,55 meter, ukuran batu gapura rata-rata 40x26x15 cm, sisi timur dan baratnya diperlengkapi dengan pagar atau sayap terbuat dari batu yang sama yaitu batu andesit yang masing-masing berukuran panjang 45 cm dengan lebar 24 cm (satu batu). Pintu gapura berukuran lebar 1,2 meter dengan ambang bawah berpermukaan cekung membentuk profil kurawal (?) yang dilengkapi ceruk poros daun pintu, dan dinding lorong tersisa empat lapis batu setinggi 63 cm. Gapura ini diperlengkapi dengan 11 anak tangga dengan lebar satuannya 2,7 meter dan pipi tangga memiliki ukuran lebar 40 cm. Di reruntuhan sisa struktur gapura juga terdapat batu ambang (kemungkinan atas) dalam keadaan patah yang dilengkapi dengan ceruk polos daun pintu.

Gapura Situs Gunung Gedang

Ambang Pintu Candi

Pada 56 meter dari gapura ke utara terdapat sisa susunan batu andesit I, setinggi dua lapis. Ukuran batu rata-rata 40 x 28 x 13 cm. 2 meter ke utara dari struktur susunan batu andesit terdapat sisa struktur batu andesit II yang berdenah persegi dengan ukuran 3,05 x 2,85 x 0,41 (tiga lapis) meter diatas permukaan tanah. Pada lapis batu pertama dan kedua dihiasi oleh pelipit, sebuah lapik arca berukuran panjang 1,7 meter, lebar 1 meter, dan tebal 0,47 meter berhiaskan ornamen naga pada sisi kanan-kirinya yang menyatu dengan dinding utara (belakang) bangunan. Pada bagian tengah permukaan lapik diperlengkapi ceruk yang berukuran 13 x 13 x 13 cm yang dikelilingi lingkaran yang berdiameter 55 cm. Bagian depan lapik terdapat undakkan setinggi 20 cm dan lebar 19 cm. Diatas dinding terdapat batu-batu yang ditumpuk.


lapik arca yang terdapat ornamen naga di kanan kirinya

Angka tahun 1330 Saka (1408 Masehi)


Miniatur candi



Di sebelah barat bangunan ini kira-kira 22 meter terdapat tumpukan batu yang memanjang ke utara-selatan, diantara batu tersebut terdapat sebiji batu ambang dengan ceruk poros daun pintu dalam keadaan terpotong. Selain itu terdapat empat buah batu berbentuk limas terpancung (umpak) di sekeliling sisa struktur gapura, sehingga dapat diperkirakan merupakan penyangga tiang yang berbahan yang mudah aus.


Di sebelah timur bangunan tengah kira-kira 22 meter terdapat tinggalan lepas berupa yoni, miniatur candi, umpak, bongkahan batu candi yang berserakan dan sebagainya.





Menurut Harian Santiko, pada masa Majapahit bangunan suci atau candi memiliki ciri khusus yaitu berundak dan salah satu bagian tubuh tidak dijumpai lagi, berdasarkan ciri-cirinya candi pada masa Majapahit memiliki dua jenis yaitu:

a.Bangunan berundak teras tiga, dengan satu atau dua tangga yang menghubungkan ketiga teras tersebut, badan candi dengan garbhagrha terletak di atas teras ketiga menggeser ke kebelakang dari titik pusat, dan tiga relung untuk menempatkan arca di dinding luar ketiga sisi. Atap tidak ditemukan lagi, kemungkinan bertingkat seperti atap Meru di Bali.

b.Bangunan yang berada dilereng-lereng gunung, sering menempel dilereng tersebut. Bangunan biasanya terdiri dari tiga teras satu batur rendah diatas teras ketiga (teratas). Diatas batur tersebut terdapat 1-3 altar, atau 2 altar dan 1 miniatur candi, tanpa arca. Tepat ditengah-tengah teras terdapat tangga naik menuju altar tersebut. Pada beberapa bangunan suci ini terdapat altar kecil dihalaman, tepat berhadapan dengan tangga, mungkin dimaksudkan aling-aling atau altar kelir (Santiko, 1995: 5)

Dilihat dari bangunannya Situs Gunung Gedang dan Kronogramnya merupakan situs masa Majapahit yang setidaknya memiliki tiga teras. Teras pertama adalah Candi Wringinbranjang, teras kedua berupa gapura, struktur susunan batu andesit berjenjang dan ditemukan empat buah umpak, kemungkinan gapura Situs Wringin berbentuk gapura paduraksa yang kemungkinan pagarnya berbentuk sayap, sedangkan teras ketiga berupa sisa susunan batu andesit I dan sisa susunan batu andesit II yang berbentuk persegi, dimana pada susunan batu andesit II berbentuk persegi ditemukan lapik arca yang berhiaskan ornamen naga dan lapisan pada dua lapisan paling atas dihiasi pelipit. Dilihat dari fungsinya Situs Wringinbranjang merupakan tempat Krsyan pada masa Kerajaan Majapahit.

SITUS BALONG

Oleh: Ferry Riyandika

Situs Balong merupakan suatu situs masa kerajaan Hindhu-Budhha yang terletak di Dusun Balong, Kelurahan Butun, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Situs ini terletak di kaki Gunung Kelud (Kampud). Candi ini ditemukan oleh warga setempat yang bernama Djoyo yang sedang membuat lubang untuk menanam kelapa. Di Situs Balong dijumpai hasil temuan berupa artefak yang meliputi batu-batu candi yang diantaranya berhias simbar, biasanya batu candi berhias simbar terletak dibagian atap atau pagar langkan candi (Balai Arkeologi Yogyakarta, 1986: 4-5).

Situs Balong mengingatkan akan uraian dari Kitab Nagarakrtagama. Dimana disebutkan adanya tempat karsyan di daerah Butun. Apabila yang tertera di Nagarkrtagama sama dengan lokasi ditemukan candi maka Butun pada masa Kerajaan Majapahit merupakan tempat salah satu Karsyan bagi para rsi, rsi tersebut membuat candi untuk sarana pemujaan terhadap dewa.

(Foto oleh : Balai Arkeologi Yogyakarta, 1986)

Hasil Ekskavasi
(Foto oleh : Balai Arkeologi Yogyakarta, 1986)

Karsyan adalah tempat tinggal atau komunitas para resi (rsi) (Zoetmulder P.J. 1997). Sedangkan Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala (kadewaguruan). Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial, misalnya Gua Selomangleng didekat Kadiri dan Tulung Agung, situs Gua Pasir di pegunungan selatan Tulung Agung, dan Keraton Ratu Boko Jawa Tengah. Sedangkan Mandala, atau disebut juga Kadewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para rsi, wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru, mereka lebih beradab dibandingkan dengan orang-orang hulun hyang (pemuja roh atau dewa-dewa lokal). Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib (Brahmantyo, 1998: 58-101).

Menurut Zoetmulder dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia disebutkan rsi atau resi adalah guru, orang bijaksana, golongan makluk yang khas, dan berbeda dengan dewa yang merupakan orang yang kurang terpengaruh kebudayaan India, walaupun fungsi utamanya tetap sebagai pemimpin agama dan guru bagi orang-orang yang menginginkan kesempurnaan dharma (Zoetmulder P.J. 1997). Rsi di Jawa nama lain dari wanaprastha yaitu mereka yang telah mengundurkan diri kehutan atau tempat yang senyi untuk menjalankan tingkat tingkat hidup yang ketiga (Santiko, 1990: 159). Dalam agama Hindhu di Jawa terdapat empat tingkatan bagi penganutnya yang disebut sebagai caturacrama atau caturacrama yaitu brahmacari (hidup sebagai murid yang mencari bekal spiritual atau pendidikan agama), grhastha (membangun rumah tangga untuk mendapatkan keturunan), wanaprastha (pergi mengundurkan diri ke hutan atau tempat suci untuk mencari jalan kelepasan), sanyasin atau bhiksuka (meninggalkan segala sesuatu, mengembara, hidup tanpa rumah) (Hadiwijino, 2000: 23).

SITUS SLUMBUNG

Oleh: Ferry Riyandika

Situs Slumbung yang terletak di Desa Slumbung, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Situs ini memiliki peninggalan-peninggalan arkeologi diantaranya:

1.Punden Mbah Slumbung terdiri dari reruntuhan bangunan yang berbahan dasar batu andesit. Sepintas situs ini menyerupai reruntuhan candi, bahkan pada salah satu artefak menunjukan bentuk yang menyerupai jaladwara (saluran air pada bangunan candi), huruf beraksara jawa kuna, lumpang, 4 buah batu kenong, umpak, watu dakon dan bagian bangunan candi serta bongkahan batu candi yang berserakan.

Jaladwara

Pahatan Tulisan Jawa Kuna

Lumpang

Tulisan Jawa Kuna

Watu Gong (kenong)

Watu Kenong

Watu kenong terbalik

Watu kenong

Sebagian umpak

Watu Dakon yang sudah agak aus

Salah satu bagian bangunan candi

Terdapat kronogram yang berangka tahun 1246 Saka (1324 Masehi) dan 1256 Saka (1334 Masehi). Selain itu terdapat nandi, sebuah ember yang bereliefkan trisula dan kepala naga bermahkota namun keberadaannya sekarang sudah hilang. Selain itu masyarakat setempat dahulu sering mengadakan pagelaran Wayang Krucil dengan tema "Jaka Slumbung" (Knebel, 1908: 159-160).

2.Pucuk yang berbentuk roda yang terbuat dari bahan perunggu. Pucuk perunggu berbentuk roda ini berukuran tinggi 30 cm (11,13/16 intji). Sekarang benda tersebut disimpan di Museum Pusat, Jakata, dengan daftar inventaris. no. 5916. Roda dengan empat kisi (anak centera cakra) merupakan tanda kehormatan Wisnu dan seringkali dipergunakan sebagai sebuah motif untuk pucuk-pucuk. Diatasi oleh sebuah ujung yang berbentuk sehelai bilah pedang, pucuk ini yang berbentuk roda mempunyai sebuah dasar yang kosong untuk memberi tempat kepada tonggak. Benda ini merupakan sebuah tempat penjimpanan jang besar dari barang-barang berharga (Fonten, J & R. Soekmono, dkk. 1972: 158)

(Foto oleh: Fonten, J & R. Soekmono, dkk. 1972: 158)

2.Pucuk perunggu berbentuk Tombak atau pedang, yang memiliki ukuran tinggi 30 cm (11 13/16 inci) Sekarang benda tersebut disimpan di Museum Pusat, Jakata dengan daftar inventaris no. 5954. Lambang ini berbentuk sehelai bilah pedang atau tombak. Bentuk jang sama seringkali terdapat sebagai bagian hiasan pucuk-pucuk. Yang paling tidak lazim hiasan motif ini menyerupai seekor burung yang sedang terbang. Pada dasarnya yang kosong atau bolong, sebuah kepala kala bermata-satu dan tiga buah taring terlihat pada setiap sisi (Fonten, J & R. Soekmono, dkk. 1972: 158).

(Foto oleh: Fonten, J & R. Soekmono, dkk. 1972: 158).

4.Lencana Perunggu yang digunakan dalam upacara dan prosesi. Yang sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta.. Tingginya berurutan 24.5 cm, 28 cm, dan 19 cm. Ditemukan pada tahun 1928. Sebagian besar lencana perunggu ini sebagai peraturan adat, mempunyai sebuah dasar yang kosong untuk memberi tempat kepada tonggak atau tongkat kaku (kayu). Memiliki motif hiasan seperti naga-naga dan kepala kala. Pegangan tangan perunggu (gambar 1) adalah suatu salinan Damaru yang terkenal dari arca Tantristic seperti halnya pada masa sekarang disebut kelotong, suatu instrumen edisi lebih sederhana yang sama yaitu penjaja Cina yang mengumumkan akan kehadirannya. Dibagian tengahnya memiliki hiasan kepala kala. Pada gambar 2 juga disebut Damaru yang memiliki hiasan naga-naga disamping atas kiri-kanan, pada bagian tengah dihias dengan kepala kala dan bagian bawah sisi samping kanan-kiri berhiaskan seperti berbentuk sehelai bilah pedang atau tombak. Gambar 3 seperti tempat Pembakar suatu dupa/ bau-harum. Tutupnya bentuk seperti suatu bunga dengan daun bunganya yang tergantung atau berbentuk sehelai bilah pedang atau tombak. seperti suatu lima- vajra yang sampingnya tergantung naga-naga. (Kempres, 1959: 89).

(Foto oleh: B. Kempres, 1959: 89)

5.Bandul genta perunggu rakshasa yang membawa suatu bejana air Amrta.Sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta.. Tingginya 22 cm. yang ditemukan tahun 1982. Bandul genta perunggu rakshasa yang membawa suatu bejana air Amrta merupakan suatu cerita rakshasa yang mencuri Amrta dari para dewa. Figur rakshasa ini memiliki daging pinggang, kain, dan pantalon pendek, Suatu yang menarik dari rakshasa ini adalah pakaian bahunya berhiaskan berbentuk sayap-sayap. Bandul genta perunggu rakshasa yang membawa suatu bejana air Amrta sama seperti yang ditemukan di Siam, Bali, dan bandul genta perunggu rakshasa yang membawa suatu bejana air Amrta lainnya di Jawa Timur. (Kempres, 1959: 75)

(Foto oleh: B. Kempres, 1959: 89)